Kemarin saya sempat membaca salah
satu artikel yang mengangkat tema “Sistem Imunitas Pengetahuan Agama”.
Di dalam artikel tersebut menyinggung bagaimana seharusnya seseorang memahami
ajaran agamanya; dengan nalar bayanikah atau dengan burhanikah? Dalam pembacaan
saya, artikel tadi memberikan gambaran bahwa menggunakan nalar bayani dalam
memahami agama akan menghasilkan pemahaman yang rigid dan juga akan mengundang
aksi ofensif. Nalar pikir bayani nantinya akan membuat penggunanya mengklaim
bahwa kebenaran yang dihasilkan olehnya adalah kebenaran absolut. Sehingga
dengan nalar pikir seperti ini, ungkapan atau bahkan tindakan kekerasan akan
sering terjadi dan dianggap sebagai kebenaran agama. Pada akhirnya, penulis
artikel ini menyangsikan nalar bayani dan menganggapnya tidak relevan dengan
cara keberagamaan kita saat ini. Lalu kemudian, dia mencari jalan lain dalam
memahami agama—al-Quran dan Hadis—yaitu dengan mengaplikasikan nalar burhani.
Nalar burhani dinilai efektif dalam menghasilkan keberagamaan yang benar dan
inklusif. Sehingga ungkapan dan tindakan kekerasan tidak menjadi ideologi yang
selalu dipertahankan.
Di sini saya sebagai pembaca
artikel di atas sangat tidak setuju dengan hasil opini yang diangkat. Opini itu
menciderai salah satu metodologi ulama Islam yang digunakan sejak zaman Islam
klasik hingga sekarang. Yaitu nalar bayani tadi yang diklaim sebagai sumber
dari cara beragama yang eksklusif dan ofensif. Akan tetapi, saya juga tidak
menolak penggunaan nalar burhani dalam memahami teks keagamaan. Di sini saya
tidak ingin menciderai salah satu dari dua metodogi tadi. Sehingga bagi saya,
ada baiknya dalam menggunakan nalar burhani, tidak menciderai nalar bayani.
Begitupun sebaliknya, dalam menggunakan nalar bayani, kita juga dituntut untuk menyelaraskannya
dengan cara pikir yang burhani.
Sebelum masuk pada topik terdalam
dalam opini saya ini, ada baiknya kita mengenali terlebih dahulu apa itu nalar
pikir bayani dan apa itu burhani? Sehingga dengan pemahaman yang benar terhadap
metodologi ini, kita dapat melihat bagaimana sebenarnya cara kerja dari
keduanya.
Nalar bayani, sesuai maknanya
secara leterlek (al-Bayân/penjelasan), adalah sebuah cara memahami yang
menjadikan teks sebagai titik tolak. Kebenaran pemahaman diukur oleh bagaimana
teks itu digunakan. Atau dengan kata lain, logika teks adalah kunci paling
mendasar dalam menghasilkan pemahaman yang benar terhadap teks-teks
keagamaan—al-Quran dan Hadis. Sedangkan nalar burhani merupakan nalar yang
menjadikan akal sebagai kunci utama dalam memahami agama. Atau dengan bahasa
yang berbeda, logika akal adalah tolok ukur pertama dalam menilai kebenaran
sebuah pemaknaan terhadap sebuah teks.
Jika kita flashback kepada
sejarah pemikiran Arab Islam, mungkin kita akan menemukan bahwa nalar bayani
merupakan nalar yang digunakan oleh ulama abad pertama dan kedua Hijriah,
khsusnya ahli Hadis dan ahli fikih. Sedangkan nalar pikir yang bergenre burhani
adalah suatu manhaj berpikir yang digunakan oleh ulama abad setelahnya,
khususnya ulama kalam di abad ketiga Hijriah. Di abad ketiga, dalam sejarah
ilmu kalam, kita melihat bagaimana Muktazilah mendeklarasikan pemikiran
keagamaannya yang dinilai sebagai kaum rasionlis atau ahli ra’yi.
Sepintas kita melihat bahwa dahulu kala, kedua cara pandang ini—bayani dan
burhani—sudah dianggap sesuatu yang bertolak belakang. Keduanya seakan tidak
bisa dipertemukan dalam memahami teks keagamaan.
Namun jika kita jeli, di sinilah
kita menemukan kejanggalan. Jika di masa Islam awal, manhaj bayani adem ayem
tidak mengalami penolakan dan penentangan, kenapa di era setelahnya—khususnya
oleh kaum rasionalis—dan bahkan sekarang seperti dalam artikel yang saya
singgung di atas, dipandang sebagai cara pandang yang tidak absah atau bahkan
harus dihapus dari cara berpikir kita dalam beragama? Dari sini sebenarnya saya
melihat ada semacam kesalahan dalam melihat cara kerja manhaj bayani ini. Jadi,
pada dasarnya, jika terdapat kesalahan dalam memahami teks sehingga menimbulkan
sikap kasar dan semacamnya—seperti yang dipraktekkan oleh kaum Khawarij yang
dinilai sebagai kaum tekstualis, itu bukan berarti nalar bayaninya yang salah,
melainkan cara memakainya yang keliru. Dan kalau kita membaca sejarah
Muktizilah yang diklaim sebagai kaum paling terdepan dalam membela rasio, maka
kita juga dapat menemukan sikap arogan dan kasar dalam membela ideologinya.
Tragedi fitnah khalq al-Quran adalah potret sejarah kelam perjalanan
ilmu kalam. Itu artinya, manhaj burhani pun bisa menimbulkan sikap yang
ofensif. Namun bukan berarti saya menyalahkan manhaj itu, melainkan cara
memakainya yang tidak benar. Metodologi ibaratkan pisau, ia dapat menimbulkan
malapetaka, tapi juga mampu mengundang beragam manfaat yang serba berguna.
Kesalahan dalam melihat cara
kerja nalar bayani inilah yang kemudian mengundang sesorang untuk menolak
manhaj ini. Nalar bayani dianggap sebagai nalar yang kaku dan tidak mampu
menjawab tantangan zaman. Ia diklaim sebagai manhaj yang melihat teks sebagai
benda mati semata, sehingga tidak mampu memberikan pemahaman yang hidup dan
dinamis. Dan pemahaman seperti ini, bagi saya, adalah pandangan yang
kesalahannya sangat fatal dan tentunya harus segera diperbaiki. Karena secara
aklamatis, pandangan seperti itu mengancam keberadaan nalar bayani yang
dipegang erat oleh ahli Hadis dan fikih, sepeti Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Sebagian mengira—termasuk penulis
artikel yang saya singgung ini—bahwa pemahaman dengan memakai nalar bayani
sebagai jalannya, merupakan pemahaman tekstualis dan jauh dari kata logis.
Tentu ini sangat keliru. Imam Syafi’i, misalnya, sebagai salah satu Imam mazhab
yang hingga kini masih dianut, dengan sangat jelas dan juga dengan logika yang
matang, menjelaskan dalam kitab fenomenalnya, al-Risâlah bagaimana
seharusnya nalar bayani yang digunakan dalam mengistinbat hukum Islam dari
sumbernya—al-Qur’an dan Hadis. Pembahasan penting dalam kitabnya ini dimulai
dengan menanyakan bagaimana bayân yang benar dalam pandangan syariat dengan
merefer kepada cara Sahabat dan juga Nabi dalam mencetuskan sebuah hukum. Ringkasnya,
teks al-Quran dalam nalar bayani haruslah dipahami dengan teks al-Quran. Dalam
artian, sebagian al-Quran menjelaskan sebagiannya yang lain. Jika tidak
ditemukan penjelasannya dalam al-Quran, maka dicari dari Hadis Nabi. Jika tidak
tidak ditemukan juga, maka melalui jalan kiyas. Kiyas yang secara lahiriah ini
bersandar kepada rasio, pada dasarnya ia tetap bersandar kepada teks.
Di sini kita melihat hukum dalam
Islam itu haruslah bersumber dari teks. Sehingga secara kasat mata ia bisa saja
dinilai jauh dari rasionalitas. Namun, pandangan ini menjadi mentah kalau kita
melihat lebih lanjut esensi dari teks atau lebih tepatnya esensi dari nalar
bayani ini. Untuk menjelaskan hal ini saya akan menggunakan pendekatan ahli
bahasa dalam memahami teks. Jika di dalam pandangan ahli fikih—khususnya Imam
Syafi’i—bayan hanya digunakan dalam membaca teks untuk mengetahui sebuah
hukum, maka ahli bahasa mempunyai konsep bayan yang lebih luas. Al-Jahizh di
dalam al-Bayân wa al-Tabyîn-nya menjelaskan, bayan tidak hanya digunakan
untuk memahami, namun juga digunakan untuk memberikan pemahaman. Bayan,
perspektif ahli bahasa, bukan hanya berhubungan dengan pembaca, namun juga
tidak bisa dilepaskan dari pembicara.
Logika nazhm Al-Jurjani
dapat membantu kita dalam memahami cara kerja al-Bayân perspektif ahli
bahasa. Dalam pandangan Al-Jurjani, sesuatu yang paling fundamental dalam
bahasa dan penyampaian adalah makna. Menurutnya, sebuah kata mengikuti makna
yang bersemayam dalam benak pembicara atau pemilik teks. Sehingga untuk
mengungkap keindahan konstruksi bahasa, kita dituntut untuk menggali dan
mengetahui keindahan makna. Pendeknya, keindahan kata berada dalam keindahan
maknanya.
Jika kita telaah lebih dalam
logika nazhm Al-Jurjani ini, maka pada dasarnya kata atau bahasa dalam
bentuk yang lebih umum, mempunyai hubungan yang berkelindan dengan akal. Makna
ibarat jembatan untuk menghubungkan keduanya—bahasa dan akal. Karena makna yang
terdapat dalam benak manusia adalah esensi dari bahasa yang diujarkannya. Itu
artinya, untuk memasuki makna sebuah teks, tidak cukup hanya dengan mengetahui
maknanya secara leterlek. Akan tetapi, kita diharuskan untuk memasuki ruang
terdalam dari makna, yaitu akal pembicara--manusia. Sehingga di sinilah, di
titik yang paling mendasar ini, nalar bayani yang bersandar kepada teks dan
nalar burhani yang bersandar kepada rasio, berkolaborasi dan menemukan
keharmonisannya.
Secara sederhana, kita dapat
membuat lingkaran nalar bayani yang mencakup kedalam tiga horizon. Pertama, teks
itu sendiri. Kedua, pembicara atau pemilik teks. Ketiga, lawan
bicara (mukhathab). Untuk memasuki tiga cakrawala ini tentu bukan hal yang
mudah. Karena dalam horizon teks, kita harus mengetahui bagaimana ia dipahami
dan digunakan saat ia diujarkan. Di sisi lain, kita juga dituntut untuk
mengetahui karekteristik dan gaya penyampaian sebuah bahasa di masa di mana ia
diungkapkan. Sedangkan untuk masuk kedalam cakrawala pembicara atau pemilik
teks dan lawan bicara (mukhathab), kita dituntut untuk mengetahui sosio
kultural yang mengitari keduanya. Karena bahasa, selain ia sebagai sarana
komunikasi, ia juga merupakan potret atau cerminan dari sosialnya. Sehingga
dengan memahami ketiga cakrawala ini, apa yang dinginkan dalam nalar bayani
menemukan keutuhannya dalam memahami dan memaknai sebuah teks atau bahasa dan
penyampaian.
Mugnkin di sini kita merasa bahwa
logika mengenai teks yang saya bicarakan ini tidak relevan dengan teks
al-Quran. Karena seperti yang jamak diketahui, al-Quran bukanlah sabda Nabi
Muhammad Saw., sehingga bangunan bahasanya tidak tersentuh oleh keinginan dalam
diri Nabi. Ya, saya setuju bahwa satu huruf pun dari al-Quran tidak hadir
mengikuti keinginan nabi Muhammad Saw., melainkan ia murni dari Tuhan semata. Namun
bukan berarti kita dalam memahami makna dari teks al-Quran harus terlepas dari siyâqnya—alur
cerita dari sebuah penyampaian atau keadaan di mana kata itu diungkapkan.
Karena memahami teks tanpa melihat siyâqnya cenderung menghasilkan
pemaknaan yang keliru, dan bahkan akan menghasilkan pemikiran yang radikal dan
juga dangkal. Sedangkan siyâq di sini merupakan tali penghubung
antara ketiga horizon teks di atas. Pentingnya memahami siyâq ini
tersurat dalam kaidah ahli bahasa yang menyatakan “li kulli maqâm maqâl” (dalam
setiap kondisi dan keadaan terdapat sebuah ungkapan). Kaidah dasar dalam ilmu
balaghah ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan pemahaman yang benar
terhadap sebuah teks, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari konteks
atau siyâqnya. Karena konteks inilah yang kemudian membentuk ungkapan
yang berbeda-beda, atau dengan bahasa yang berbeda, kontekslah yang mengundang
pembicara menghadirkan bahasa dalam beragam konstruk dan bentuknya.
Akan tetapi, penting untuk
dicatat, siyâq atau konteks bukan titik fokus kita dalam nalar bayani,
melainkan ia hanyalah salah satu dari alat bantu paling mendasar dalam sebuah
pemaknaan. Titik fokus utama yang sebenarnya di dalam nalar bayani adalah teks
itu sendiri. Oleh karenanya memahami karekteristik sebuah bahasa, baik dari
gramatika, suara dan bentuknya, juga sangatlah urgen dalam memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Dengan ini, nalar bayani tidaklah terjebak hanya pada
konteksnya saja atau teksnya saja. Namun ia berusaha menggabungkan keduanya untuk
menghasilkan pemaknaan yang utuh dan menyeluruh. Oleh karenanya, orang yang
menolak nalar bayani sebagai manhaj yang absah hanyalah orang yang tidak
memahami bahasa dan beragam ilmu yang mengitarinya. WalLâhu ta’âlâ a’lam.
Oleh ;
Rahmat Hidayat Biek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar