November 11, 2016

antara Nalar Pikir Bayani dan Burhani


Kemarin saya sempat membaca salah satu artikel yang mengangkat tema “Sistem Imunitas Pengetahuan Agama”. Di dalam artikel tersebut menyinggung bagaimana seharusnya seseorang memahami ajaran agamanya; dengan nalar bayanikah atau dengan burhanikah? Dalam pembacaan saya, artikel tadi memberikan gambaran bahwa menggunakan nalar bayani dalam memahami agama akan menghasilkan pemahaman yang rigid dan juga akan mengundang aksi ofensif. Nalar pikir bayani nantinya akan membuat penggunanya mengklaim bahwa kebenaran yang dihasilkan olehnya adalah kebenaran absolut. Sehingga dengan nalar pikir seperti ini, ungkapan atau bahkan tindakan kekerasan akan sering terjadi dan dianggap sebagai kebenaran agama. Pada akhirnya, penulis artikel ini menyangsikan nalar bayani dan menganggapnya tidak relevan dengan cara keberagamaan kita saat ini. Lalu kemudian, dia mencari jalan lain dalam memahami agama—al-Quran dan Hadis—yaitu dengan mengaplikasikan nalar burhani. Nalar burhani dinilai efektif dalam menghasilkan keberagamaan yang benar dan inklusif. Sehingga ungkapan dan tindakan kekerasan tidak menjadi ideologi yang selalu dipertahankan.

Di sini saya sebagai pembaca artikel di atas sangat tidak setuju dengan hasil opini yang diangkat. Opini itu menciderai salah satu metodologi ulama Islam yang digunakan sejak zaman Islam klasik hingga sekarang. Yaitu nalar bayani tadi yang diklaim sebagai sumber dari cara beragama yang eksklusif dan ofensif. Akan tetapi, saya juga tidak menolak penggunaan nalar burhani dalam memahami teks keagamaan. Di sini saya tidak ingin menciderai salah satu dari dua metodogi tadi. Sehingga bagi saya, ada baiknya dalam menggunakan nalar burhani, tidak menciderai nalar bayani. Begitupun sebaliknya, dalam menggunakan nalar bayani, kita juga dituntut untuk menyelaraskannya dengan cara pikir yang burhani.

Sebelum masuk pada topik terdalam dalam opini saya ini, ada baiknya kita mengenali terlebih dahulu apa itu nalar pikir bayani dan apa itu burhani? Sehingga dengan pemahaman yang benar terhadap metodologi ini, kita dapat melihat bagaimana sebenarnya cara kerja dari keduanya.

Nalar bayani, sesuai maknanya secara leterlek (al-Bayân/penjelasan), adalah sebuah cara memahami yang menjadikan teks sebagai titik tolak. Kebenaran pemahaman diukur oleh bagaimana teks itu digunakan. Atau dengan kata lain, logika teks adalah kunci paling mendasar dalam menghasilkan pemahaman yang benar terhadap teks-teks keagamaan—al-Quran dan Hadis. Sedangkan nalar burhani merupakan nalar yang menjadikan akal sebagai kunci utama dalam memahami agama. Atau dengan bahasa yang berbeda, logika akal adalah tolok ukur pertama dalam menilai kebenaran sebuah pemaknaan terhadap sebuah teks.

Jika kita flashback kepada sejarah pemikiran Arab Islam, mungkin kita akan menemukan bahwa nalar bayani merupakan nalar yang digunakan oleh ulama abad pertama dan kedua Hijriah, khsusnya ahli Hadis dan ahli fikih. Sedangkan nalar pikir yang bergenre burhani adalah suatu manhaj berpikir yang digunakan oleh ulama abad setelahnya, khususnya ulama kalam di abad ketiga Hijriah. Di abad ketiga, dalam sejarah ilmu kalam, kita melihat bagaimana Muktazilah mendeklarasikan pemikiran keagamaannya yang dinilai sebagai kaum rasionlis atau ahli ra’yi. Sepintas kita melihat bahwa dahulu kala, kedua cara pandang ini—bayani dan burhani—sudah dianggap sesuatu yang bertolak belakang. Keduanya seakan tidak bisa dipertemukan dalam memahami teks keagamaan.

Namun jika kita jeli, di sinilah kita menemukan kejanggalan. Jika di masa Islam awal, manhaj bayani adem ayem tidak mengalami penolakan dan penentangan, kenapa di era setelahnya—khususnya oleh kaum rasionalis—dan bahkan sekarang seperti dalam artikel yang saya singgung di atas, dipandang sebagai cara pandang yang tidak absah atau bahkan harus dihapus dari cara berpikir kita dalam beragama? Dari sini sebenarnya saya melihat ada semacam kesalahan dalam melihat cara kerja manhaj bayani ini. Jadi, pada dasarnya, jika terdapat kesalahan dalam memahami teks sehingga menimbulkan sikap kasar dan semacamnya—seperti yang dipraktekkan oleh kaum Khawarij yang dinilai sebagai kaum tekstualis, itu bukan berarti nalar bayaninya yang salah, melainkan cara memakainya yang keliru. Dan kalau kita membaca sejarah Muktizilah yang diklaim sebagai kaum paling terdepan dalam membela rasio, maka kita juga dapat menemukan sikap arogan dan kasar dalam membela ideologinya. Tragedi fitnah khalq al-Quran adalah potret sejarah kelam perjalanan ilmu kalam. Itu artinya, manhaj burhani pun bisa menimbulkan sikap yang ofensif. Namun bukan berarti saya menyalahkan manhaj itu, melainkan cara memakainya yang tidak benar. Metodologi ibaratkan pisau, ia dapat menimbulkan malapetaka, tapi juga mampu mengundang beragam manfaat yang serba berguna.

Kesalahan dalam melihat cara kerja nalar bayani inilah yang kemudian mengundang sesorang untuk menolak manhaj ini. Nalar bayani dianggap sebagai nalar yang kaku dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ia diklaim sebagai manhaj yang melihat teks sebagai benda mati semata, sehingga tidak mampu memberikan pemahaman yang hidup dan dinamis. Dan pemahaman seperti ini, bagi saya, adalah pandangan yang kesalahannya sangat fatal dan tentunya harus segera diperbaiki. Karena secara aklamatis, pandangan seperti itu mengancam keberadaan nalar bayani yang dipegang erat oleh ahli Hadis dan fikih, sepeti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

Sebagian mengira—termasuk penulis artikel yang saya singgung ini—bahwa pemahaman dengan memakai nalar bayani sebagai jalannya, merupakan pemahaman tekstualis dan jauh dari kata logis. Tentu ini sangat keliru. Imam Syafi’i, misalnya, sebagai salah satu Imam mazhab yang hingga kini masih dianut, dengan sangat jelas dan juga dengan logika yang matang, menjelaskan dalam kitab fenomenalnya, al-Risâlah bagaimana seharusnya nalar bayani yang digunakan dalam mengistinbat hukum Islam dari sumbernya—al-Qur’an dan Hadis. Pembahasan penting dalam kitabnya ini dimulai dengan menanyakan bagaimana bayân yang benar dalam pandangan syariat dengan merefer kepada cara Sahabat dan juga Nabi dalam mencetuskan sebuah hukum. Ringkasnya, teks al-Quran dalam nalar bayani haruslah dipahami dengan teks al-Quran. Dalam artian, sebagian al-Quran menjelaskan sebagiannya yang lain. Jika tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Quran, maka dicari dari Hadis Nabi. Jika tidak tidak ditemukan juga, maka melalui jalan kiyas. Kiyas yang secara lahiriah ini bersandar kepada rasio, pada dasarnya ia tetap bersandar kepada teks.

Di sini kita melihat hukum dalam Islam itu haruslah bersumber dari teks. Sehingga secara kasat mata ia bisa saja dinilai jauh dari rasionalitas. Namun, pandangan ini menjadi mentah kalau kita melihat lebih lanjut esensi dari teks atau lebih tepatnya esensi dari nalar bayani ini. Untuk menjelaskan hal ini saya akan menggunakan pendekatan ahli bahasa dalam memahami teks. Jika di dalam pandangan ahli fikih—khususnya Imam Syafi’i—bayan hanya digunakan dalam membaca teks untuk mengetahui sebuah hukum, maka ahli bahasa mempunyai konsep bayan yang lebih luas. Al-Jahizh di dalam al-Bayân wa al-Tabyîn-nya menjelaskan, bayan tidak hanya digunakan untuk memahami, namun juga digunakan untuk memberikan pemahaman. Bayan, perspektif ahli bahasa, bukan hanya berhubungan dengan pembaca, namun juga tidak bisa dilepaskan dari pembicara.

Logika nazhm Al-Jurjani dapat membantu kita dalam memahami cara kerja al-Bayân perspektif ahli bahasa. Dalam pandangan Al-Jurjani, sesuatu yang paling fundamental dalam bahasa dan penyampaian adalah makna. Menurutnya, sebuah kata mengikuti makna yang bersemayam dalam benak pembicara atau pemilik teks. Sehingga untuk mengungkap keindahan konstruksi bahasa, kita dituntut untuk menggali dan mengetahui keindahan makna. Pendeknya, keindahan kata berada dalam keindahan maknanya.

Jika kita telaah lebih dalam logika nazhm Al-Jurjani ini, maka pada dasarnya kata atau bahasa dalam bentuk yang lebih umum, mempunyai hubungan yang berkelindan dengan akal. Makna ibarat jembatan untuk menghubungkan keduanya—bahasa dan akal. Karena makna yang terdapat dalam benak manusia adalah esensi dari bahasa yang diujarkannya. Itu artinya, untuk memasuki makna sebuah teks, tidak cukup hanya dengan mengetahui maknanya secara leterlek. Akan tetapi, kita diharuskan untuk memasuki ruang terdalam dari makna, yaitu akal pembicara--manusia. Sehingga di sinilah, di titik yang paling mendasar ini, nalar bayani yang bersandar kepada teks dan nalar burhani yang bersandar kepada rasio, berkolaborasi dan menemukan keharmonisannya.

Secara sederhana, kita dapat membuat lingkaran nalar bayani yang mencakup kedalam tiga horizon. Pertama, teks itu sendiri. Kedua, pembicara atau pemilik teks. Ketiga, lawan bicara (mukhathab). Untuk memasuki tiga cakrawala ini tentu bukan hal yang mudah. Karena dalam horizon teks, kita harus mengetahui bagaimana ia dipahami dan digunakan saat ia diujarkan. Di sisi lain, kita juga dituntut untuk mengetahui karekteristik dan gaya penyampaian sebuah bahasa di masa di mana ia diungkapkan. Sedangkan untuk masuk kedalam cakrawala pembicara atau pemilik teks dan lawan bicara (mukhathab), kita dituntut untuk mengetahui sosio kultural yang mengitari keduanya. Karena bahasa, selain ia sebagai sarana komunikasi, ia juga merupakan potret atau cerminan dari sosialnya. Sehingga dengan memahami ketiga cakrawala ini, apa yang dinginkan dalam nalar bayani menemukan keutuhannya dalam memahami dan memaknai sebuah teks atau bahasa dan penyampaian.

Mugnkin di sini kita merasa bahwa logika mengenai teks yang saya bicarakan ini tidak relevan dengan teks al-Quran. Karena seperti yang jamak diketahui, al-Quran bukanlah sabda Nabi Muhammad Saw., sehingga bangunan bahasanya tidak tersentuh oleh keinginan dalam diri Nabi. Ya, saya setuju bahwa satu huruf pun dari al-Quran tidak hadir mengikuti keinginan nabi Muhammad Saw., melainkan ia murni dari Tuhan semata. Namun bukan berarti kita dalam memahami makna dari teks al-Quran harus terlepas dari siyâqnyaalur cerita dari sebuah penyampaian atau keadaan di mana kata itu diungkapkan. Karena memahami teks tanpa melihat siyâqnya cenderung menghasilkan pemaknaan yang keliru, dan bahkan akan menghasilkan pemikiran yang radikal dan juga dangkal. Sedangkan siyâq di sini merupakan tali penghubung antara ketiga horizon teks di atas. Pentingnya memahami siyâq ini tersurat dalam kaidah ahli bahasa yang menyatakan “li kulli maqâm maqâl” (dalam setiap kondisi dan keadaan terdapat sebuah ungkapan). Kaidah dasar dalam ilmu balaghah ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan pemahaman yang benar terhadap sebuah teks, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari konteks atau siyâqnya. Karena konteks inilah yang kemudian membentuk ungkapan yang berbeda-beda, atau dengan bahasa yang berbeda, kontekslah yang mengundang pembicara menghadirkan bahasa dalam beragam konstruk dan bentuknya.

Akan tetapi, penting untuk dicatat, siyâq atau konteks bukan titik fokus kita dalam nalar bayani, melainkan ia hanyalah salah satu dari alat bantu paling mendasar dalam sebuah pemaknaan. Titik fokus utama yang sebenarnya di dalam nalar bayani adalah teks itu sendiri. Oleh karenanya memahami karekteristik sebuah bahasa, baik dari gramatika, suara dan bentuknya, juga sangatlah urgen dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan ini, nalar bayani tidaklah terjebak hanya pada konteksnya saja atau teksnya saja. Namun ia berusaha menggabungkan keduanya untuk menghasilkan pemaknaan yang utuh dan menyeluruh. Oleh karenanya, orang yang menolak nalar bayani sebagai manhaj yang absah hanyalah orang yang tidak memahami bahasa dan beragam ilmu yang mengitarinya. WalLâhu ta’âlâ a’lam.aa


Oleh ;
Rahmat Hidayat Biekaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates