Februari 19, 2018

,



"Kenapa judulnya sapi, kamu suka sapi, ya?"
Suka dan bingung, bingung bagaimana caranya tahun depan saya bisa berkurban sapi"
"Jangan sapi, berat! Kambing saja! Sapi mahal"
Kambing memang murah, tapi maaf, sekarang saya maunya cuma sapi. Gak tau kalau tahun depan, tunggu aja"
"Kamu tau gak? Kenapa saya maunya cuma ingin berkurban sapi?"
"Kenapa?"
Biar nanti di akhirat kita bisa boncengn berdua Kalau kita kurbannya kambing kita gak bisa boncengan, kita masing-masing, gak romantis banget kan. Padahal kita tiap berangkat dan pulang sekolah kita selalu boncengan berdua"
Maaf bukan itu jawabannya. Kalau yang tadi itu sih, Mas Dilan yang ngejawab. Dia ngebajak key board qwerty saya.

Saya di sini sebenarnya gak mau bahas soal sapi. "Loh, itu judulnya kok, sapi. Katanya gak mau bahas soal sapi. Kalau judulnya sapi tentu yang dibahas hal-hal yang berkaitan dengan sapi dong! Bukan kerbau?" Aduh! Mas Dilan nongol lagi, nih!

Menurut saya, sih. Meskipun judulnya sapi, tidak harus yang dibahas di dalamnya hal yang berkaitan dengan sapi, sepeti jenis-jenis sapi, harga sapi, daging sapi, susu sapi, anak sapi, cucu sapi dll. Seperti surah al-Baqarah (sapi, ingat! Bukan sapi betina, tapi semua jenis sapi. Artinya sapi apa aja. Sapi cewek kek, cowok kek, yang penting sapi. Jangan banyak tanya, ingat, yang penting sapi!) surah kedua dalam al-Quran. Meski surah ini diberi nama sapi, tapi yang dibahas di dalamnya bukan hal yang berkaitan dengan sapi.

"Kan, di dalamnya memang disebutkan cerita tentang sapi yang disuruh sembelih, ya, pantas kalau diberi nama sapi" Aduh! Mas Dilan, Mas Dilan. Memang di surah tersebut disebutkan tentang cerita sapi. Kalau alasanya seperti itu, tentu kisah Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail dalam membangun Ka'bah lebih menarik untuk dijadikan Nama. Atau hukum telak, menikahi non muslim dll yang terdapat dalam surah itu. Apa sih hebatnya sapi, sampek dijadiin nama surah dalam al-Quran. Yang saya heranlagi kenapa harus sapi? Padahal dulu, sapi gak ngetren-ngetren amat. Gak seperti sekarang. Kalau sekarang mah sapi ngentren abis, sampek ada pasaranya segala, kalau di Madura nama pasarnya Keppo. Orang-orang arab dulupun jarang yang ternak sapi, yang banyak ternak onta dan kambing.

"Ya, itukan sudah tauqifi" Mas Dilan, meskipun itu tauqifi seharusnya kita harus mengetahuinya lebih dalam lagi. Kalau misalnya ada yang tanya, kenapa surah kedua dalam al-Quran diberi nama al-Baqoroh? "Ya, jawab aja, karena di dalamnya ada kisah tentang sapi, selesaikan!" Yah, kalau jawabannya seperti itu semua orang yang baca al-Quran tau, kalau di dalamnya ada cerita tentang sapi.

Ok, kembali lagi ke awal. Kita lupanka percakan saya dengn Mas Dilan yang barusan, biarlah itu jadi masa lalu.

Bisa jadi, judulnya A tapi isinya tentang si B(minjam bahasa Bpk Quraish Sihab bisa jadi hehe). Seperti penamaan surah al-Baqorah tadi. Padahal sapi pada masa itu bukanlah hewan yang mashur, baik dikalangan bani israil maupun orang arab. Tapi kenapa dijadikan nama. Disini menunjukan bahwa al-Quran itu tidak terlalu risau dengan nama, tapi lebih fokus pada esensinya. Seperti yang disampaikan Ulil Absor Abdallah, bahwa kisah dalam al-Quran itu tidak terlalu risau dengan kelengkapan kisahnya tapi yang sangat diperhatikan adalah tentang moral, atau misi, isi atau esensinya. Begitu juga dengan nama surah ini. Sebenarnya yang sangat ditekankan dari pemberian  nama ini yaitu tentang esensi yang melatar belakangi penamaan itu.

Hal ini seirama dengan pendapat syaikh Sya'rawy, menurut beliau yang harus kita garis bawahi dalam pemberian nama sapi(al-Baqarah) di surah kedua ini yaitu tentang kejadian yang sangat luar biasa, yaitu tentang kebangkitan(al-ba'tsu). Di zaman Nabi Musa Allah telah menghidupkan orang yang sudah mati dengan sebagian anggota tubuh sapi untuk memberi kesaksian. Dan ini adalah satu-satunya kebangkitan yang pernah terjadi di dunia. Sedangkan hari kebangkitan itu adalah salah satu dari ajaran pokok dalam Islam yang harus diimani. Disinilah poin yang sangat mendasar yang bisa dijadikan alasan kenapa surah kedua itu diberi nama al-Baqarah.

Sayyid Tanthawi juga mencoba memberi alasan kenapa suarah kedua tersebut diberi nama sapi. Pada zaman Nabi Musa, sebagian dari kaumnya ada yang menyembah sapi. Oleh karena itu ketika Nabi Musa meminta pertolongan kepada Allah agar Allah memberi soluai atas perselisihan yang terjadi  pada kaumnya. Allah memerintahkan untuk menyembelih sapi. Di sini Allah ingin menujukkan kepada mereka bahwa sapi hanyalah hewan sembelihan, hewan pembajak sawah, hewan yang diperkerjakan bukan untuk dijadikan sembahan. Karena satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah yang Maha Kuasa.

Mungkin dua alasan di atas itulah yang sangat pas untuk dijadikan sebagian dari hal yang melatar belakangi kenapa surah kedua dalam al-Quran itu deberi nama al-Baqarah.
Jadi sangatlah jelas, meskipun judulnya sapi, bisa jadi yang dibahas bukan sapinya tapi hidangan kopinya hehe. Mungkin itu dulu pembahasan kita soal sapi dan Mas Dilan. Kalau ada yang komen isi dan judul tidak nyambung, mimang itu yang ingin saya inginkan dalam tulisan ini. Hehe…Semoga tahun depan kita bisa berkuraban sapi seperti yang dicita-citakan Mas Dilan. Berkurban sapi agar tetap bisa boncengan denga Mbk Miela.

By : Zaka Asyrof





Februari 17, 2018

,




Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan nikmat sempat kepada kita semua, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk menikmati indahnya waktu dalam hidup ini. Perputaran waktu merupakan hal biasa yang luar biasa, mengapa demikian? Kelembutannyalah yang membuat waktu ini menjadi tidak biasa. Kelembutannya sering membuat kita terlena akan gemerlapnya dunia, sehingga kita asyik bahkan lupa pada tujuan hidup masing-masing.

Saat ini, hal tersebut kerap terjadi, dan hampir selalu terjadi pada kalangan remaja, khususnya para pelajar dan mahasiswa.

Salah satu contoh yang dapat kami ambil adalah kehidupan mahasiswa diperantauan, khususnya Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir) yang pada mulanya (ketika masih di Indonesia) bersikukuh dan bertekad bulat untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Namun sedikit demi sedikit, tekad tersebut terkikis oleh munculnya peluang bisnis dikalangan mahasiswa, sehingga muncul pula peluang untuk mendapatkan penghasilan dengan jumlah yang cukup besar, kemudian menjadi orang kaya yang tanpa butuh ijazah, transkip nilai, ataupun study yang khusus dalam bidang perbisnisan. Hal inilah yang membuat para pelajar tanpa sengaja, mengesampingkan tujuan awal yang tak lain adalah menuntut ilmu. Maka dari itu, perlu diperhatikan bagaimana memanage waktu dengan tepat, agar bukan hanya sukses dalam berbisnis tetapi juga sukses dalam belajar, sehingga terciptalah pribadi pebisnis yang terpelajar.

Pada kalimat pebisnis yang terpelajar, terdapat dua kata inti, yaitu kata pebisnis, berarti orang yang menggeluti dunia bisnis, dan terpelajar, yakni orang yang 'telah belajar', atau 'telah selesai belajar'. Kalimat 'telah selesai belajar' juga mengandung makna 'telah menguasai ilmu yang dipelajari'. Tetapi, bagaimana jika ada mahasiswa jurusan ushuluddin yang lebih fokus dalam bidang bisnis, hingga kurang mendalami materi pada jurusannya, dan lebih banyak memusatkan pikiran pada bisnisnya. Apakah seperti ini yang disebut dengan pebisnis yang terpelajar? Jika iya, maka, terpelajar dalam hal apa?* Bukankah kesinkronan jurusan terhadap etos kerja sangat mempengaruhi hasil sebuah pekerjaan? Contoh sederhananya, jika ada mahasiswa sarjana Management, lalu dia membuka lapangan kerja baru, dengan ilmu yang telah didalaminya saat dibangku perkuliahan dengan seorang mahasiswa sarjana ushuluddin yang sama juga membuka sebuah lapangan kerja baru, hasilnya akan jauh berbeda jika keduanya sama bersungguh-sungguh dalam berbisnis, seorang yang sarjana Management akan memiliki peluang sukses lebih cepat dibanding dengan pebisnis sarjana ushuluddin, mengapa demikian? Karena seorang sarjana management telah dilatih bagaimana melihat pasar masyarakat semenjak dibangku kuliah, dan ini berbanding terbalik dengan seorang sarjana ushuluddin yang dianya difokuskan untuk menggeluti ilmu keagamaan. Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga status terpelajar ini secara haqiqiyahnya, diantaranya adalah, bagaimana kita memanage kegiatan kita sehari-hari, dan bagaimana kita mendahulukan sesuatu yang urgent daripada selainnya. Contoh :

- Cara memanage waktu bagi mahasiswa yang sedang berbisnis
1. Bagi yang muslim, lakukan sholat fardhu tepat diawal waktu, karena ketepatan waktu ini akan sangat mempengaruhi kedisiplinan waktu yang lain.
2. Tentukan kapan kita berangkat ke kampus, dan kapan kita mengerjakan tugas kampus.
3. Tentukan satu materi yang diprioritaskan dan difokuskan. Agar kelak ketika pulang kita masih menguasai satu bidang jurusan kita untuk diaplikasikan kepada masyarakat.
4. Tentukan kapan harus mengulang pelajaran
5. Tentukan jam istirahat masing-masing.
6. Sisa waktu yang kosong bisa digunakan untuk belajar berbisnis bersama teman yang lain, agar supaya kelak ketika pulang tidak kebingungan dalam menentukan pekerjaan pertama bagi diri masing-masing. Karena seyogyanya seorang mahasiswa utamanya yang jurusan keagamaan dituntut menjadi seorang guru. Dan menjadi seorang guru bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah kewajiban. Maka dari sinilah perlunya kita menjadi seorang businessman.

Dengan beberapa cara seperti diatas, maka kemungkinan besar akan bisa menjadikan kita sebagai seorang pebisnis yang terpelajar dibidangnya masing-masing. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah seorang mahasiswa yang jurusannya kurang sinkron dengan pebisnisan. Jika bisa memanage waktu dengan baik, maka, bisa dipastikan hidup akan teratur, dan jika hidup sudah teratur, maka segala sesuatu akan tersusun dengan baik termasuk juga kesuksesan, serta masih bisa mengembangkan bisnis yang telah ditekuni masing-masing setelah lulus dari bangku perkuliahan. Cukup kiranya dari kami, semoga kita selalu dijadikan hamba yang bisa menjaga waktu. Sebagaimana kata mutiara bangsa arab
الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك

By: Abdul Malikul Ngibad

Februari 16, 2018

,























Secara praksis manusia dituntut untuk selalu aktif bertindak positif dalam segala nafas dan gerakannya. Hal ini merupakan kelaziman bersama terkhusus makhluk ekonomis yang dalam kesehariannya tidak dapat dilepaskan dengan interaksi sosial.

Kesadaran umat manusia belakangan ini semakin tidak teratur dan cendrung bersikap personal. Banyak faktor yang melatar belakangi sikap tersebut diantaranya karena kurang memperhatikan hubungan sosial, egoisme, serta acuh tak acuh dalam soal tolong-menolong, baik sesama manusia maupun  dengan makhluk Tuhan lainnya. 

Di dalam bukunya “Slilit sang kiai” Cak Nun melukiskan sosok kyai yang sedang masygul gotong royong memperbaiki jembatan bersama masyarakat. Tampaknya ia lupa melaksanakan salat duhur hingga hampir tiba adzan asar. Dengan seketika, ia langsung menuju sumur. saat melempar tali timba tiba-tiba ada seekor semut tenggelam serasa membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Dengan pelan, tali timba digoyang dan ia pun sukses menyelamatkan semut tersebut. Puncaknya, ketika menarik tali timba, tiba-tiba adzan asar dikumandangkan. Dengan perasaan sedih, pak kyai berangkat ke masjid dan langsung melaksanakan salat seraya berdoa _“Ya Allah hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan salat duhur yang kau anugerahkan, adapun mengenai semut itu dan segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan rasa-rasanya belum pantas kujadikan alasan memohon pahala darimu”_.

Sepintas kisah ini adalah hal kecil dan mungkin sepele untuk diaksikan. Kisah ini menghadapkan diri kita terhadap sosok kiyai yang tidak egois dan tidak cendrung mementingkan dirinya sendiri untuk cepat-cepat melaksanakan ibadahnya yang dalam hal ini adalah mengambil wudhu untuk melaksanakan salat. Logika terbaliknya, andaikan pak kyai egois dan mementingan dirinya sendiri tentu ia tidak akan menyelamatkan seekor semut yang sedang tenggelam. Namun, karena ia berangkat dari khalifatullah bukan ‘abdullah (hamba Allah) atau ana insan (aku manusia) maka dirinya lebih menyelamatkan semut tersebut atas dasar sama-sama Makhluk Allah. Terlepas bagaimana status hukum salat dan hubungan privasi denganNya. Karenanya Rabiatul Adawiyah meminta di dalam doanya _“Ya Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka, sehingga tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hambaMu”_.

Dalam relasi sosial, konteks tolong-menolong tidak terbatas pada garis horisontal atau kita kenal dengan memanusiakan manusia, akan tetapi lebih dari itu. Artinya sebagai ciptaan Tuhan yang dianugerahi akal, manusia dihadapkan dengan makhluk tuhan lainnya sehingga terjalin hubungan hewan ‘Aqli (berakal) dan non ‘Aqli yang pada akhirnya melahirkan lintas interaksi sesama makhluk Tuhan.

Bahasan ini semakin menarik ketika kita tarik pada studi kasus “Nyamuk” dimana Rasulullah saw. Sedang tidur malam. Uniknya sedikitpun tidak terpancar memerah dari aura Rasulullah, tidak mencari-cari layaknya balas dendam lalu menepuk membunuhnya, malah kehadiran nyamuk tersebut dianggap tamu mulia sehingga beliau tetap bersikap tenang dan memafaatkan waktunya untuk melaksanakan salat malam.

Dari aspek sosial, islam tidak pernah bosan mengajarkan pengikutnya untuk selalu memberi, bersadakah atau bahasa kita lagi-lagi menolong. Sampai saat ini, diantara pesan Nabi yang amat menggelitik adalah ketika beliau mengatakan kepada sahabat bahwa sadakah yang paling utama adalah air. Dalam kasus yang lain juga disebutkan bahwa Tuhan senantiasa memasukkan kita ke dalam Surga-Nya selama kita memberikan seteguk air minum kepada MakhlukNya.

Pesan Nabi diatas Secara esensial sangatlah relevensi dengan kondisi umat sekarang. Pasalnya, kita terlalu nyaman hingga melupakan saudara kita yang kehausan. Lihatlah saudara-saudara kita di daerah termarginal seperti pedalaman afrika dan sejenisnya. Jangankan mengkonsumsi makanan bergizi, seteguk airpun mereka sulit untuk meminumnya. Berbagai jenis makanan sulit didapatkan, minuman  jarang-jarang, apalagi mau shoping ke mol-mol besar.
Sementara dengan kita sendiri, puji syukur alhamdulillah masih diberi nikmat untuk bisa minum air sebanyak-banyaknya, makanan sudah ada, dan bahkan ketika rasa gak mod datang kita langsung terbang mendatangi restoran.

Air adalah segala-galanya, jangan pernah pelit untuk memberikannya. Pelit kepada orang lain berarti pelit kepada diri kita sendiri. Akhirnya, benang merah dari pembahasan diatas adalah bahwa kita sangat dianjurkan untuk bahu membahu kepada siapa saja yang kita hadapi baik manusia maupun hewan serta bersedakahlah meskipun hanya seteguk air karena bisa jadi kita tidak membutuhkannya tapi tidak dengan tetangga kita. 
_Wallahu a’lam_
Sumber
-              I’anah Tolibin jilid II : sayyid Abi Bakar Muhammad sato al dimyati
-              Bajuri jilid I : syekh ibrahim Al Bajuri
-              Slilit sang kiai : Emha Ainun Nadjib

By: Mukhtar Makin

Februari 15, 2018

,


Belajar adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh semua insan tanpa terkecuali, karena semua manusia yang terlahir di dunia ini semuanya dalam keadaan tidak tahu apa-apa, layaknya sebuah USB ia masih kosong tidak terisi satu file pun. Ini senada dengan firman Allah Swt. Didalam surat al-Nahl:78. Allah Swt. Berfirman: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun, dan dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. Melalui ayat ini Allah selain memberikan informasi bahwa di awal kita keluar dari perut ibu kita (Baca: dilahirkan) kita berada dalam keadaan tidak tahu  sesuatu  apapun, Allah juga memberi tahu kita bagaimana kita bisa menggunakan fasilitas yang telah Allah sediakan untuk kita gunakan guna menghasilkan ilmu atau pengetahuan. Fasilitas itu adalah pendengaran (telinga), penglihatan (mata), dan hati.

Sebagian orang mengira bahwa belajar itu harus di tempat-tempat formal, seperti di sekolah, kampus dan tempat-tempat pengajian yang biasa diisi oleh Ustadz atau kiai. Mereka tidak menyadari bahwa selain di tempat-tempat itu mereka juga bisa belajar, menambah ilmu baru bagi mereka sebagai bekal untuk terus menjalani kehidupan mereka. Bahkan jika kita lihat, belajar diluar kelas itu lebih menyenangkan dan lebih santai karena diakui atau tidak tempat kita belajar juga mempengaruhi cepat tangkapnya kita dalam mendapatkan ilmu.

Sebagian lagi ada yang mengira bahwa belajar itu harus dari buku-buku pelajaran disekolah atau diktat di kuliah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka juga bisa belajar dengan sesuatu yang berada di sekitarnya, apapun itu. bahkan dengan hanya melihat sesuatu yang ada di sekitar mereka, mereka bisa belajar kehidupan dengan hal tersebut. Seperti apakah contohnya?

Kemaren saya dan teman-teman di asrama mendapatkan rezeki sebuah roti cokelat dan ruz bil laban (bubur dicampur susu)yang diberikannya kepada kami. Roti dan ruz bil laban itu, keduanya rasanya manis akan tetapi rasa manis roti lebih tinggi dari ruz bil laban tersebut. Teman saya memakan roti itu dulu (yang rasanya lebih manis) baru dilanjutkan memakan ruz bil labannya. Nah disini teman saya ketika telah selesai memakan rotinya dan memulai memakan ruz bil labannya dia berkata: “kok rasanya kurangmanis ya?”. Padahal ruz bil laban yang dia makan itu sudah dicampuri dengan gula, dan juga sama dengan ruz bil laban­-ruz-bil laban ­seperti biasanya yang dia makan sebelum-sebelumnya. Tapi kali ini dia mengatakan rasanya tidak manis. Mungkin pembaca sudah bisa menebak kenapa ia bisa mengatakan kurang manis. Ya karena sebelum dia memakan ruz bil labannya itu, dia memakan roti cokelat yang rasanya lebih manis dari ruz bil laban yang ia makan. Seandainya dia memakan ruz bil laban dulu sebelum kemudian memakan rotinya, maka kata ‘kurang manis’ itu tidak akan terucap dari teman saya itu.

Okey, pelajaran kehidupan seperti apa yang bisa kita ambil dari peristiwa di atas?

Di dalam hidup kita sering kali mendengar hidup enak dan hidup tidak enak. Hidup enak identik dengan hidup mewah berselimut harta. Sedangkan hidup tidak enak diartikan sebagai hidup dengan serba kekurangan. Orang yang sudah terbiasa hidup enak, ketika ia ‘diuji’ dengan kehidupan yang berada di satu level dibawahnya, maka ia cenderung akan mengatakan “kok kehidupanku seperti ini ya, kurang enak?”, ia tidak sadar bahwa ia sedang diuji apakah ia bisa bersabar dengan kehidupan yang sedang ia jalani. Jika ia bersabar, maka ia akan lulus dan akan dinaikkan kepada satu level lebih tinggi diatasnya. Jika tidak, maka ia akan tetap berada dilevel itu atau bahkan bisa dirutunkan ke satu level di bawahnya.

Di sisi lain, ketika seseorang terbiasa dengan kehidupan yang serba kekurangan, kemudian ia ‘diuji’ dengan kehidupan yang mewah, maka dengan rasa tinggi hati ia akan mengatakan ‘Inilah kehidupanku!’, ia tidak sadar bahwa ia sedang diuji apakah ia bisa bersyukur dengan nikmat yang telah Allah berikan, atau tidak. Jika ia lulus dan bersyukur maka ia akan diberikan kenikmatan yang lebih dari pada yang ia miliki. Jika tidak, maka Allah akan mencabut nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan digantikan dengan siksa yang pedih nanti di hari pembalasan.
Hidup tidak enak penulis kiyaskan denga rasa ruz bil laban yang rasanya manis, dan hidup enak penulis samakan dengan roti yang rasanya lebih manis daripada ruz bil laban.
Dari penjelasan di atas kita bisa menarik benang merah, bahwa belajar tidak hanya dengan buku-buku di sekolah akan tetapi juga bisa dengan apapun yang kita temukan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti kejadian diatas. Itu hanya satu dari sekian banyak contoh yang penulis temukan di dalam kehidupan penulis. Pembaca bisa menemukan contoh-contoh lain yag pembaca temukan di dalam kehidupan pembaca.

Kholillurrahman


Februari 14, 2018

,












Kontra lawan dari kata pro, kontara = tidak setuju, pro = setuju. Seseorang yang tidak sependapat dengan orang lain berarti kontra, dan orang yang tidak disetujui disebut sebagai sosok kontroversi/ tokoh kontroversi. Baik karena pendapatnya berbeda dengan mayoritas atau kebijakannya seringkali melawan arus. Dari sini, dapat dipahami bahwa pro dan kontra merupakan keniscayaan, sebagaimana perbedaan merupakan keniscayaan.

Kita tidak akan saling melengkapi jika kita semua sama, kita tidak akan berkembang tanpa perbedaan, kita tidak akan kaya budaya dan peradaban tanpa keragaman, kita tidak akan berbagi tanpa perbedaan. Itu artinya, tuhan mau kita berbeda, Dia ciptakan baik dan buruk, suci dan najis, bersih dan kotor, malaikat dan syetan, surga dan neraka. Namun Dia perintahkan kita pada yang baik tanpa yang buruk, pada yang suci bukan yang najis, pada yang bersih bukan yang kotor, pada bisikan malaikat bukan bisikan syetan, pada surga bukan neraka.

Maka sangat berbeda antara "Menciptakan " dan "Memerintahkan". Allah SWT Pencipta alam semesta baik dan buruk, karena Dia berhak atas segala keputusan-Nya. Namun Dia hanya memerintahkan pada yang baik dan melarang dari yang buruk, karena Dia-lah Penguasa yang sesungguhnya. Allah SWT berfirman:

ۗ  اَلَالَـهُ الْخَـلْقُ وَالْاَمْرُ  ۗ  تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

" Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan seluruh alam."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 54)

Allah ciptakan manusia tidak seperti malaikat yang selalu dalam ketaatan dan tak bisa berbuat kemaksiatan, dianugerahinya kemampuan memilih kebaikan dan keburukan sebagai keistimewaan dan kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Perbedaan pendapat dan pandangan disebabkan perbedaan tingkat pemahaman, perbedaan tingkat pemahaman disebabkan perbedaan tingkat keilmuan dan pengetahuan.

Setiap orang memahami sesuai keilmuan dan pengetahuannya, semakin berilmu dan banyak belajar, semakin bijaksana dan tidak mudah mempertentangkan perbedaan. Karena pertentangan terjadi disebabkan kebutaannya pada cara pandang orang lain, karena sempitnya pandangan dan wawasannya sendiri.

Sebagaimana perkataan Plato yang dikutip Imam Muhammad Abu Zahra dalam bukunya yang berjudul  " "تاريخ المذاهب الإسلاميةYang artinya : (( Sesungguhnya tidak semua orang bisa menepati kebenaran secara utuh, tidak juga menepati kesalahan secara utuh. Tetapi, setiap orang bisa salah dari satu sisi, dan bisa benar dari sisi yang lain. Sebagaimana sekumpulan orang buta yang mendekati se ekor gajah, lalu setiap mereka meraba salah satu dari anggota tubuh gajah itu dengan tangannya. Kemudian mereka menggambarkan bentuk gajah sesuai yang dirabannya. Maka orang yang meraba kakinya berpendapat: “bentuk gajah panjang bundar seperti batang pohon”. sedang yang meraba punggung gajah berpendapat: “bentuknya seperti bukit yang tinggi”. dan yang meraba telinganya berpendapat: “bentuk gajah lebar dan tipis”. Dan semuanya telah menyampaikan sesuai pengetahuannya, dan semua saling menyalahkan yang lain, lalu menuduh saudaranya telah salah dan bodoh dalam mendefinisikan gajah. Maka lihatlah bagaimana kebenaran menyatukan mereka, dan lihatlah kebohongan dan kesalahan menjadi perpecahan! !))

Lalu Imam Muhammad Abu Zahra berkata, " Kebanyakan perbedaan bukan karena kesamarannya, melainkan karena setiap pihak tidak mengetahui cara pandang saudaranya sehingga pandangan mereka berbeda dalam satu permasalahan. Dari itulah Socrates berkata, " Jika diketahui titik permasalahan, pasti tak akan terjadi pertentangan."

Yang ingin disampaikan disini bukan persoalan pro dan kontra, bukan pula sisi perbedaan dan kesamaan, karena semua ini merupakan keniscayaan yang tidak perlu dipertentangkan. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah  "persatuan" yang seringkali diabaikan karena terlalu ambisi mempertahankan pendapatnya sendiri, lupa saudaranya sendiri. Melihat lawan bicaranya sebagai musuh bahkan melebihi musuh, dianggapnya syetan tidak ada kebaikan sedikitpun dalam dirinya - ditolak segala pendapat dan argumentasinya dianggapnya mungkar, dan pendapatnya sendiri makruf dan kebenaran sehingga yang dipupuk perpecahan untuk membinasakan persatuan.

Kita semua pasti tahu pepatah berikut, tetapi sering kita abaikan - انظرماقال ولاتنظرمن قال -
Lihat apa yang disampaikan namun jangan lihat siapa yang menyampaikan”. Andai setiap kita memahami dan menerapkan betul-betul nilai yang terkandung, pasti yang lahir toleransi dan kasih sayang, bukan kebencian, permusuhan dan pertikaian penyebab perpecahan.

Maka, sebelum mengkritik atau anti pada seseorang, yang paling pertama dan utama yang mesti diperhatikan adalah diri kita. Tanyakan, "Siapakah diri anda, pelajar atau pendidik?”. Sehingga jelas posisi anda yang sebenarnya, pelajar tugasnya belajar dan mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, bukan mengkritik seorang ilmuan yang sudah jauh lebih tinggi dan luas ilmu pengetahuan dan wawasannya dari anda. Dalam masyarakat saja, anak kecil yang berusaha menasehati orang tua akan menjadi lelucon, meskipun yang disampaikannya kebenaran. Karena anak tidak diperhitungkan. Nasehat dan argumentasi akan diperhitungkan bila datang dari orang yang sederajat keilmuan dan kedudukannya.

Karena, seorang ilmuan menyampaikan pendapatnya secara ilmiah, mereka punya data yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan, dalam penyampaiannya dia menggunakan kosa kata yang sesuai, dan sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bersikap. Dan semua itu tidak ada dalam diri orang kebanyakan/awam, mereka hanya bisa berkata "katanya dan kabarnya", ketika dimintai data yang valid mereka akan berkata, " tidak tahu/itu yang saya tahu/itu yang saya dengar/itu yang dikatakan guru saya/pokoknya begitu pendapat saya masa bodoh dengan orang lain/ dsb”. Untuk menutupi kebodohannya dan kesalahannya.

Kontra bukan berarti salah, boleh jadi benar dalam kondisi tertentu. Kontroversi bukan berarti mutlak tertolak, boleh jadi kontroversi dalam satu persoalan, namun tidak lantas mengklaim semua pendapatnya kontroversi. Kita boleh berbeda pendapat bahkan berseberangan, tetapi jangan sampai menjadikan kita buta, tuli, dan bisu pada kebenaran yang datang dari sosok yang kita anggap kontroversi dalam satu dua tiga persoalan saja.

Karena jika demikian, berarti kita tidak bijak menilai sesuatu, mengukur kebenaran dari tokoh, bukan mengukur tokoh dengan kebenaran itu sendiri. Sebagaimana Sayyidina Ali Ra berkata – لايعرف الحق بالرجال , اعرف الحق تعرف اهله - "Kebenaran tidak diketahui dari tokoh, maka kenalilah kebenaran itu niscaya kau akan kenali ahlinya”. Tentunya dengan terus belajar dan mengamalkannya, belajar untuk memperbaiki diri sendiri sebelum memberikannya untuk orang lain.

Ketika menemukan sesuatu yang kontroversi, dan semua pihak merasa paling benar. Sebisa mungkin hindari kebencian, keangkuhan, fanatisme dan perpecahan dengan berkata: "Kamu bisa jadi yang benar, bisa jadi aku yang salah, atau sebaliknya. Kita semua berusaha mencari kebenaran." Sebagaimana Allah Mengajarkan kita dalam Al-Qur'an untuk tetap menghargai keyakinan orang yang tidak seiman sebagai saudara sesama makhluk, apalagi dengan saudara seiman dan sesama makhluk . Allah SWT berfirman:

قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ  قُلِ اللّٰهُ   ۙ  وَاِنَّاۤاَوْاِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْفِيْضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

"Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah, Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata."

(QS. Saba' 34: Ayat 24).

Wallahua'lam bis-showab.

By: Muhammad Amien Ghazali

Follow Us @soratemplates