,
Sebelum
kita masuk dalam tema yang diangkat dalam tulisan ini, ada satu hal yang
menurut saya penting untuk disampaikan. Di era dimana radikalisme membayangi
keseharian kita, muncul sebuah stigma baru yang mengatakan bahwa sumber
radikalisme itu adalah Sayyid Quthb dengan karya fenomenalnya, “fî Dzilâl
al-Qur’an”.
Terlepas
dari benar tidaknya pernyataan ini, stigma yang distempelkan kepada Sayyid
Quthb ini barang kali akan membuat tembok pemisah bagi sebagian orang sehingga
dia enggan untuk melihat karya-karyanya atau bahkan membencinya secara total;
membenci keseluruhan pemikirannya karena satu pemikirannya yang tidak kita
terima. Sikap seperti ini bagi saya adalah radikalisme dengan wajah yang
lainnya. Alih-alih dia menjauh dari radikalisme, namun secara tidak sadar dia
masuk ke dalam radikalisme dengan wajah barunya.
Di
sini penting untuk saya berkata bahwa tidak ada kitab tafsir yang sempurna;
jauh dari cacat dan tidak tersentuh oleh kekurangan apapun. Jika tafsir Ibnu
Katsir dinilai sebagai tafsir representatif dalam genre tafsir kolaboratif
antara ma’tsur dan ma’qul, maka sejatinya ia juga memuat kisah-kisah
israiliyyat yang di era sekarang dipandang sebagai aib dalam penafsiran
al-Qur’an. Begitu pun juga dengan tafsir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari dan yang
lainnya. Akan tetapi, bintik hitam dalam kitab tafsir tersebut janganlah
membuat kita berpaling dari keindahan atau kebenaran yang ditawarkan di
dalamnya.
Syaikh
Muhammad Abu Musa dalam salah satu majelis ta’limnya pernah berkata, “Seandainya
Iblis mempunya sebuah karya maka saya pun akan membacanya.”Jika karya Iblis
saja tidak terlarang bagi kita untuk membaca dan mengambil pelajaran darinya,
apalagi itu adalah karya seorang manusia yang seandainya kita bertanya, “Apakah
Sayyid Quthb akan bahagia seandainya dia melihat aksi radikalisme di era kini?”
maka tidak akan menemukan jawaban yang pasti. Seorang Muslim yang
menghargai akal tentu sepantasnya untuk membuka diri dan menerima hikmah dari
mana pun ia datang.
Lalu
kemudian, pandangan seperti apa yang disuguhkan oleh Sayyid Quthb dalam
mendedah keindahan al-Qur’an? Barangkali saya akan menyebutnya bahwa konsep
Sayyid Quthb ini adalah perpanjangan tangan dari konsep yang dicetuskan
Al-Jurjani dan dipraktekkan dengan apik oleh Al-Zamakhsyari dalam al-Kassyâf-nya.
Meski saya mengakui bahwa ada sisi sentral yang sama sekali berbeda antara dua
konsep tersebut; konsep nadzm Al-Jurjani dan konsep seni fantasinya
Sayyid Quthb (demikian saya menyebutnya).
Jika Al-Jurjani mendedah keindahan al-Qur’an berpusat
pada dialektika kata dan makna, maka Sayyid Quthb berusaha masuk ke dalam
keindahan al-Qur’an melalui seni fantasi yang diplikasikan al-Qur’an setiap
kali ia mengutarakan pesan dan kandungannya.
Dalam pandangan Sayyid Quthb, al-Qur’an menempuh satu
jalan dalam pendeskripsiannya, baik itu berkenaan dengan berita duka atau
bahagia, kisah masa lalu yang sudah atau akan terjadi, argumentasi untuk
memuaskan logika atau ajakan untuk beriman, penggambaran kehidupan di dunia
atau di akhirat dan penjelasan tentang yang lainnya. Satu jalan yang menjadi
media pendeskripsian dalam al-Quran ini adalah “Seni Pemotretan”, begitu Sayyid
Quthb menyebutnya.
Ya, Sayyid Quthb mengajak kita menyelami keindahan
al-Qur’an melalui daya khayalnya yang tinggi atau pemotretannya yang benilai
seni. Setiap kali membaca al-Qur’an kita dituntut hanyut dalam gambaran
al-Qur’an yang hidup meski ia berbicara mengenai makna-makna logikal atau
emosianal, yang bisa jadi jika ia diungkapkan oleh seorang filosof maka akan
menjadi rigid dan tidak menggerakkan emosi.
Sebagai
contoh, ketika al-Qur’an hendak menggambarkan goncangan akidah yang dialami
oleh sebagian atau banyak orang, ketika ia hendak mendeskripsikan keimanan
seseorang yang tidak berada dalam hati yang teguh, dia mengatakannya seperti
ini:
و من الناس من يعبد الله على حرف ،فإن أصابه خير اطمأن به ، و إن
أصابته فتنة انقلب على وجهه ، خسر الدنيا و الأخرة.
Artinya:
“Dan di antara manusia ada yang
menyembah Allah hanya di tepi (pinggiran). Maka tatkala dia mendapat kebajikan
dia merasa tenang. Dan jika dia ditimpa suatu cobaan maka dia tersungkur ke
belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat.” (QS: al-Haj: 11)
Al-Qur’an tidak langsung mengatakan, ada sebagian
manusia yang menyembah Allah dalam keraguan, atau katakanlah, akidah yang masih
goyang. Namun, al-Qur’an menggambarkan keadaan jiwa yang dalam keraguan
tersebut dengan pemotretan yang indah dan secara apik menggambarkan goncangan
kejiwaan yang olang-aling. Al-Qur’an mengibaratkannya dengan seseorang yang
beribadah di pinggiran bangunan. Tentu hatinya berdebar-debar, takut jatuh
tidak karuan, terlebih jika kondisi sekitarnya tidak membuatnya tenang semisal angin
yang bertiup kencang menerpannya.
Di sini, al-Qur’an menampilkan sesuatu yang maknawi
menjadi sesuatu yang indrawi. Sehingga seakan kita melihat kondisi kejiwaan
yang olang-aling tadi dengan mata indrawi kita. Sehingga makna yang disampaikan
al-Qur’an menjadi hidup dan tidak kering-kerontang.
Inilah yang disebut Sayyid Quthb dengan “Seni Fantasi
atau Pemotretan” di dalam al-Qur’an yang harus kita hadirkan setiap kali
membacanya, sehingga kita bisa menikamati keindahan pemandangan yang tidak bisa
dilukis dengan pensil, namun al-Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, hingga ia menjadi gambar atau pemandangan yang berseni tinggi.
Jika kita mentadabburi setiap bahasa penyampaian al-Qur’an, maka ia tidak bisa
lepas dari “Seni Pemotretan” ini. (Bersambung)
Oleh:
Rahmat Miskaya