Juli 18, 2018

,




Nikah merupakan suatu kegiatan sakeral atau dianggap sakeral oleh kebanyakan umat manusia, baik dari kalangan umat islam sendiri atau diluar islam sekalipun. Banyak diantara kelompak-kelompok yang bahkan ekstim menanggapi aktualisasi nikah, baik secara adat istiadat maupun sosio-relegius. Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta. Mereka yang fanatik menganggap bahwa pernikahan antara kedua belah pihak yakni mempelai laki-laki dan perempuan harus terdiri dari satu suku, kasta, warna atau wangsa. dan ini merupakan harga mati yang tidak boleh ditolerin apalagi dipereteli.  

Dalam tanda kutip, seandainya antara masing-masing keduanya beda kasta, namun terpaksa dinikahkan karena berangkat dari rasa cinta antar keduanya, maka bisa jadi keduanya sama-sama disingkirkan atau lebih frontalnya diusir dari tempat asalnya atau bahkan kadang-kadang ada yang sampai dibunuh, tergantung dengan pimpinan atau tokoh adat di daerah tersebut. Mereka berspekulasi bahwa orang yang tetap memaksakan pernikahan beda kasta, maka berarti dia sudah layak mendapatkan hukuman apapun saja sebagai tebusan atas kedurhakaannya, kemaksiatannya dan tebusan terhadap timbulnya berbagai bencana yang akan menimpa diantara kedua kasta tersebut. Istilah kasta, warna dan wangsa itu sebenarnya muncul dari agama hindu yang secara status sosial atau garis keturunan mereka terpetakkan menjadi empat kasta:

a.  Brahmana, termasuk kasta tertinggi dari pada kelompok yang lain. Karena kelompok ini merupakan  kumpulan dari sebagian umat hindu yang secara kualitas kerohanian atau sepritual mereka termasuk kalangan yang ahli, kompeten dan konsisten dalam ajarannya.

b. Ksatria, adalah suatu kasta yang berposisi sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional. Karena kasta ini merupakan himpunan dari keturunan raja-raja pada zaman kerajaan terdahulu.

c.  Waisya, merupakan kumpulan dari keturunan abdi-abdi kepercayaan dan perajurit raja-raja yang masih setia melayani dan menjaga keluarga kerajaan.

d. Sudra, adalah kasta yang moyoritas dimiliki oleh umat hindu, akan tetapi kasta ini merupakan kasta terendah. Namun, sekalipun dari segi status sosial kasta ini bisa dibilang kasta terendah, bisa saja kasta ini melonjak ke kasta yang ada di atasnya bahkan paling atas, tergantung dengan kemampuan mereka dalam bertranformasi.

Ironisnya, seiring berjalannya waktu entah kenapa atau bagaimana mereka orang hindu malah tidak melegitimasi adanya nikah kasta itu bersumber dari ajarannya. Lebih parahnya lagi, mereka malah menuduh dan menuding bahwa polemik beda kasta tersebut itu muncul dari luar ajarannya, dan mereka hanya terhegemoni saja. Padahal secara faktual, merekalah yang sudah mempengaruhi umat lain terlebih-lebih umat islam dalam genre adat istiadatnya, termasuk diantaranya nikah beda kasta. Sehingga implikasi dari keterpengaruhan ini,  banyak dari kalangan umat islam sendiri yang percaya dan meyakini terhadap mitos usang belaka tersebut. Terlepas dari berbagai pandangan mengenai hal tersebut, islam mempunyai pandangan yang berbeda, baik secara sudut pandang historis, fikih, tasawwuf dan lain sebagainya. Penulis akan mengusung sebuah hadits yang mungkin ada erat kaitannya dengan masalah tersebut:

تُنكَح المرأةُ لأربعٍ: لمالها، ولحسبِها، ولجمالها، ولدينها، فاظفرْ بذات الدين تَربتْ يداك

 “Wanita dinikahi karena empat faktor; hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki keagamaan kuat, kau akan rugi jika tidak mendapatkannya(HR. Imam Muslim)

Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa nikah itu bebas memilih pasangan dari suku, ras atau kasta manapun saja, yang penting antara keduanya mempunyai ideologi dan tuhan yang sama. Dan sebaiknya, memilih perempuan itu berdasarkan agamanya, bukan yang lainnya. Hal ini senada dengan perkataan Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Syarah Minhajnya “jika sifat pada diri seorang perempuan bertentangan, maka jelas secara mutlak yang harus dikedepankan adalah menyangkut keagamaannya, kemudiann akal dan perangainya, kelahirannya, nasabnya, keperawanannya, kemudian kecantikannya  serta kemaslahatannya”.

Jadi, stigma sebagian masyarakat yang seakan-akan diskriminatif menanggapi pernikahan beda kasta itu merupakan asumsi yang bisa dikatakan salah kuadrat. Karena, dampak dari pernikahan beda kasta itu menurut hemat penulis hanya isapan jempol belaka yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kevaliditasannya. Terbukti, banyak pernikahan beda kasta atau suku yang ternyata pasangan tersebut baik-baik saja, bahkan banyak yg hidupnya lebih harmonis dan romantis dari pada yang satu suku atau satu kasta. Mialnya; Suku Madura dengan suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, minang maupun yang lainnya. Selain itu, mungkin dampak yang selalu dihubung-hubungkan dengan pernikahan beda kasta yang berjalan sampai sekarang memang terbukti adanya pada masa silam, tapi itu hanya sabagian dan kebetulan saja. Namun, karena yang menetapkan peraturan itu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani pada daerah tersebut, makanya oleh masyarakat yang lain diyakini dan diikuti, sekalipun itu semua bukan ketetapan dari tuhan mereka. Padahal, yang kita tahu masalah pembuatan dan penetapan hukum dari suatu ajaran agama manapun adalah hak otoritas dan prerogatif tuhan mereka masing-masing.

                Kesalah kapraan pernikahan “harus satu suku” menurut penulis hanya akan membuat masyarakat merasa terkekang dan terkesan kurang bebas, karena pada dasarnya selera orang itu berbeda-beda, bisa jadi  selera seseorng dari suku tertentu ada pada suku yang lain, dan bisa jadi pula seseorang dari suku tertentu tidak kunjung mendapatkan pasangan dari suku yang sama sampai dia tua bahkan sampai dia meninggalpun tidak kunjung mendapatkannya, karena mungkin Allah menjodohkan dia dengan seseorang yang berada di suku yang lain. Secara yurisprudensipun tidak ada istilah beda kasta, suku, ras, dan lain sebagainya, semuanya sama. Begitu pula manusia secara historis kejadiannya, semuanya diciptakan dari tanah liat, sampai dengan nenek moyang kita yakni Adam dan Hawa itu sama. Intinya, pernikahan blaster atau disebut dengan beda warna dan semacamnya itu sangat dilegalkan dalam kacamata islam. Dan seandainya penulis boleh mengusulkan suatu pendapat, pernikahan balster itu tidak hanya dilegalkan saja akan tetapi sunnah, karena orang yang  berkasta bawah akan merasa senang dan bahagia, ketika akan disunting oleh orang yang berkasta tinggi. Coba kita lihat surat al Hujuraat ayat 13 berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Hai Manusia! sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa 
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal." 

Dari sekulimit ayat ini saja sudah jelas bahwa sanya Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal antara satu sama lainnya, bukan saling jaga jarak apalagi disintegrasi sosial. Karena yang membedakan manusia antara satu dengan lainnya, bukan karena suku atau semacamnya, tapi yang membedakan adalah urusan agamanya yaitu ketaqwaannya kepada allah. Seandainya perbedaan suku ini tetap dilanjutkan sampai sekarang, maka besar kemungkinan perbedaan suku tersebut akan semakin mengakar, adu gengsi semakin kasar dan bahkan bisa terjadi kerusuhan. Husein Haikal mengatakan: persamaan suku ini perlu ditonjolkan, mengingat masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kabilah (suku bangsa). Setiap kabilah selalu membanggakan ‘ashabiyah (fanatisme yang tinggi terhadap keluarga, kesukuan, dan golongan) dan nasab (asal keturunan) mereka masing-masing, sehingga tidak mengherankan jika kehidupan komunitas tersebut selalu diwarnai dengan pertentangan, pertikaian politik, dan konflik sosial.

                 Ayolah kita mulai dari sekarang belajar berfikir secara realis dan idealis, tidak hanya asal percaya pada mitos-mitos usang belaka saja. Berjuanglah untuk menggapai cita-cita mulia, karena mungkin itulah yang akan membuat cita-cita tercipta. Tempuhlah pendidikan kemanapun saja, yang penting satu jalan dan satu tujuan. Ikhlaskanlah raga dan jiwa kita untuk mendapatkannya, sekalipun harus berjibaku dengan susah payah serta bertumpang-tindih dengan rasa risih dan letih. Bersabarlah menghadapi proses, karena proses itulah yang akan menentukan hasil baik atau tidaknya kita. Maka dari itu berproseslah dengan baik tanpa memikirkan hasil, karena proses tidak mungkin membohongi hasil. Selamat berproses dan semoga sukses. Amien



 Oleh: Zainul Muttaqin





April 26, 2018

,


#Pena_Sang_Senja
#Semoga_Bermanfaat
#Mohon_dikeritik_jika_terdapat_kesalahan

Dulu waktu saya masih kecil, mayoritas masyarakat di daerah saya melarang anak-anaknya agar tidak keluar pada malam jum'at, lebih tepatnya pada waktu maghrib. Ya, dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal ketika kita renungkan ulang saat kita sudah dewasa.

Tak jarang dari kita saat masih bau kencur dulu, bahkan semua mempercayai bahwa di malam jum'at, khususnya pada waktu yang sudah saya sebutkan di atas, adalah waktu di mana arwah-arwah orang yang telah meninggal mulai bangkit untuk mengganggu kita yang keluyuran pada waktu maghrib.

Ya, menurut saya pribadi cara itu kurang baik, namun bukan berarti saya meng-klaim cara tersebut salah, tidak! hanya saja kurang tepat jika diterapkan pada anak-anak yang masih polos, atau dalam kalangan pelosok desa Madura biasanya disebut dengan istilah "Ghik tak taoh muang miro'en dhibik" (Anak yang masih belum bisa membuang ingusnya sendiri).

Mengapa sebagai penulis, saya berkata demikian? Ya, karena cara itu akan berdampak negatif pada pola pikir atau cara pandang anak-anak tersebut, seperti yang terjadi pada pribadi saya sendiri. Sehingga ketika mereka mulai tumbuh, hingga menginjak dewasa, rasa takut atau pikiran yang telah didoktrin sejak kecil akan terus menghantui setiap kali mereka berbenturan dengan waktu yang dapat mengingatkan pada masa kecilnya dulu.

Padahal tujuan mereka melarang kita untuk tidak keluar pada malam jum'at, agar kita berdiam diri dalam rumah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah diajarkan oleh Nabiyyuna Muhammad SAW. Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, di antara amalan-amalan yang dianjurkan bagi kita untuk dikerjakan pada malam jumat adalah memperbanyak bersholawat atasnya.

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

{إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما}
"Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya bersolawat atas Sang Baginda Rosul. Wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian dan haturkanlah doa keselamatan padanya (Nabi Muhammad SAW)."

Maka dari itu, saya sebagai umat Sang Baginda, bertujuan untuk mengingatkan pada antum-antum sekalian yang sedang membaca artikel pendek ini untuk senantiasa melantunkan Sholawat atasnya tanpa batas. Dengan harapan, semoga kita semua bisa mendapatkan Syafa'atnya. Amin!

الصلاة والسلام على أفصح من نطق بالضاد سيد المرسلين وخاتم النبيين حبيبنا وشفيعنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين



#Senja_Bertasbih
















April 23, 2018

,






















#Pena_Sang_Senja
#Semoga_Bermanfaat
#Mohon_dikeritik_jika_terdapat_kesalahan

Pernahkah kita mendengar nama "Sayyidina Ali Zainal Abidin"?
Ya, tentu saja nama itu sudah tidak asing lagi di telinga kita, khususnya bagi penganut agama yang diturunkan pada satu-satunya Nabi pembaharu sekaligus pemersatu, satu-satunya Nabi yang memiliki gelar "PARIPURNA".

Namun kali ini saya tidak akan membahas Sang Baginda kita, akan tetapi saya akan sedikit mengupas salah satu gelar dari Ahlu al-Bait (keluarga Rasulullah), beliau bernama "Sayyidina Ali Zainal Abidin".

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa salah satu cara agar kita dicintai orang lain, maka kita harus mencintai orang yang dicintainya, seperti yang telah termaktub (tertulis) dalam kitab-Nya:
(قل إن كنتم تحبون الله فاتبعواني يحببكم الله)

"Jika kalian mencintai Allah, maka hendaklah kalian mengikuti jejakku, niscaya kalian akan dicintai oleh-Nya".

Sayyidina Ali merupakan salah satu dari Ahlu al-Bait, sejak kecil beliau dididik langsung oleh Baginda Nabi, hingga akhirnya kelembutan tutur katanya, kesantunan Akhlaknya hampir dan bahkan sama dengan Sang Baginda Rasulullah. Tak sedikit dari kita yang tahu gelar-gelar yang didapat oleh Sayyidina Ali.

Namun, saya sebagai penulis amat sangat terkesimak dengan satu gelar di antara gelar-gelar yang dipikulnya, yaitu sebagai SAJJAD (orang yang senantiasa bersujud pada Sang Ilahi). Ya, bagaimana mungkin saya tidak terkesimak dengan gelar tersebut, jika tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Allah!

Ya, beliau-lah satu-satunya Sahabah Nabi sekaligus Ahlu al-Bait yang memiliki laqob (julukan) SAJJAD. Amat sangat pantas jika gelar tersebut hanya dimiliki olehnya, karena setiap hari beliau senantiasa bersujud pada Sang Ilahi sebanyak 1000x.

Dari kisah ini, masihkah kita akan bersenang-senang dengan kelalaian kita terhadap Sholat?! Sangatlah disayangkan jika kita masih berlalu-lalang dalam keadaan tersebut. Siapalah kita?! Kita tidak punya jaminan untuk masuk SurgaNya.

#Semoga_semua_dosa_kita_diampuni_olehNya.


April 19, 2018

,

















Orang-orang besar akan bercerita hal yang paling ia ingat dan selalu ia kenang selama perjalanan menuju kesuksesan, yaitu masa-masa sulit yang mengganjal. Sesekali mereka tertawa geli memandang orang di sekirtanya mengabdikan dirinya untuk mengapai cita-citanya, namun kurang bersabar menerima kenyataan yang harus mereka hadapi. Apapun cita-citanya, jalanan terjal senantiasa menemani. Jadi dua hal yang tidak mungkin dipisah.

Berbicara kebutuhan, ulama Maqasid as-Syariah membaginya ketiga bagian: Pertama, Dharuriyyat (primer) yaitu kebutuhan yang sifatnya pokok tidak bisa di hindari. Seperti biaya sewa kos, ongkos ‘80 coret’, biaya beli kitab dan alat-alat tulis. Kedua, Hajiyyat (sekunder) yaitu kebutuhan yang sifatnya satu tingkat dibawah kebutuhan pokok. Ketiadaanya tidak menghalangi tujuan utama yaitu belajar. Hanya saja ketiadaanya sedikit menyulitkan langkah-langkah menuju tujuan yang ingin digapai. Seperti, telepon genggam dan laptop. Ketiga, Tahsiniyyat (tersier) yaitu kebutuhan yang sifatnya pelengkap. Ketiadaanya tidak menghalangi tujuan utama dan tidak pula mempersulit langkah-langkahnya. Seperti pakaian yang sesuai dengan kebisaan mahasiswa; tidak mengurangi keluhuran budi pekerti.

Dengan latar belakang tingkat kemampuan ekonomi orang tua yang berbeda-beda, di sinilah sering kali seorang mahasiswa kehilangan tujuan utama. Menderap satu langkah untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun kadang lupa kendali bahwa ia hanya sedang memenuhi kebutuhan pokok. Sama sekali tidak dituntut memehuni kebutuhan kedua dan ketiga, jika keberadaanya menghambat tujuan utama. Intinya kejarlah kebutuhan pokoknya, namun jangan lupa segera kembali.

Maka perlu sekali seorang mahasiswa berpikir cerdas, bertanya dan perlu menaruh curiga pada dirinya. Benarkah jalan yang ditempuh adalah jalan yang semestinya dilalui? Karena tidak jarang ditemukan diantara mereka berlatar belakang keluarga berekonomi menengah keatas. Mampu memenuhi kebutuhan yang ia perlukan. Namun mereka seakan memaksa diri untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan dalih malu sudah dewasa meminta biaya kepada orang tua. Hemat penulis ini cara berpikir yang kurang tepat. Konsentrasi penuh amat dibutuhkan selama proses belajar.

Akhir kata, segala sesuatu punya takaran dan ukuran masing-masing! Semoga senantiasa kita diberi kemampuan menjaga amanah sebagai thalibul ilmi dengan baik. Wallu a’lam...


Oleh: Abdurrahman Abdul Khaliq






April 18, 2018

,


Suara Fosikba

Oleh : Zainul Muttaqin

Kairo- Hari sabtu tanggal 14 April 2018, merupakan hari yang sangat berharga dan mengesankan bagi seluruh anggota almamater FOSIKBA, karena pada hari tersebut mereka semua berbahagia dan antusias dalam rihlah wisatanya mengunjungi berberapa destinasi sejarah kuno dan tempat-tempat objek wisata yang  sering dikunjungi oleh para pelancong baik dari pribumi atau turis seperti teman-teman anggota Fosikba sendiri.

Berangkat tepat jam 07:00 CLT dengan Bus Pariwisata, di tengah perjalanan kami disuguhkan dengan berbagai pemandangan indah (walaupun dari balik kaca bus) melewati daerah pedesaan kota Fayoum yang nota bane dengan kesuburannya, keramahan dan kegigihan penduduknya dalam bekerja diladang tempat mereka mengais mata pencahariannya.

Kincir air adalah tempat tujuan pertama kali pada rihlah kali ini dan merupakan awal pertama kali kami menginjakkan kaki di kota Fayoum yang konon katanya kincir air tersebut merupakan kincir air bekas peninggalan Nabi Yusuf As. dalam mengalirkan dan meratakan air dari sungai Nil ke daerah pertanian seluas 340.000 ha di kota Fayoum tersebut.

Kemudian dilanjut dengan panorama indahnya danau atau dikenal dengan sebutan buhairah yaitu sighat tasghir dari bahr (laut kecil) yang disinyalir merupakan tempat tertelannya qarun beserta hartanya-hartanya, yang awalnya hanya berupa lembah biasa tapi entah mengapa bererapa tahun kemudian lembah tersebut terisi air yang tetap dan ada hingga saat ini.

Istana qarun adalah tujun selanjutnya dalam rihlah kali ini, istina qarun merupakan satu-satunya harta bekas peninggalannya yang tidak ikut ditenggelamkan oleh Allah dan masih kokoh hingga saat ini, sebagai peringatan untuk umat manusia. Istana tersebut terdiri dari tiga tingkat yang digunakan olehnya sebagai tempat tinggal kerabat dekat dan harta miliknya, tidak termasuk beberapa lapisan di bawah istana tersebut, karena memang pada saat itu kami selain diawasi oleh juru kuncinya, juga tidak adanya lampu penerang disetiap ruangannya, ditambah lagi suhu udara yang sangat panas sekali; sehingga kami merasa tidak betah berlama-lama di dalamya. Tidak hanya itu saja, dikatakan juga bahwa di dalam istana tersebut terdapat 360 bilik yang menyamai 360 hari dalam setahun.

Air terjun adalah tujun akhir pada rihlah kali ini, dan tercatat merupakan yang terlama dari pada objek wisata sebelumnya berkisar antara tiga jam atau lebih, disana kami selain disuguhkan dengan pemandangan air terjunnya juga dimanjakan dengan keindahan pantainya yang menjadi tempat kunjungan favorit warga Mesir sendiri. Disana, kita selain berwisata juga bisa berbincang-bincang dan bercengkerama dengan warga setempat, bahkan banyak diantara mereka yang hanya sekedar minta foto bareng dengan kami.

Rihlah yang tidak hanya sekedar rihlah biasa, tapi rihlah yang diselingi dengan beberapa agenda kegiatan yang juga diselipkan ditengah-tengah perjalanan kami. Tercatat ada berberapa kegiatan yang terealisasi pada saat itu, diantaranya adalah shalawat, sambutan dari ketua Fosikba ustadz  Fahrur Razi Zubaidi, sambutan dari dewan konsultatif dan diakhiri dengan pemberian penghargaan pada salah satu anggota Fosikba terbaik dan teraktif dalam jurnalistik. Mungkin itu saja cerita kami dalam rihlah ke kota Fayoum kali ini, dan tetap ikuti suara Fosikba selanjutnya.

Follow Us @soratemplates