Maret 31, 2020

,
Oleh: Nafiah Zaini

Kawan, ajari aku untuk selalu bersabar
Bukan ego yang terus menjalar seperti api yang membakar
Ini bukan tentang sekedar harapan, ataupun permohonan
Bahkan lebih dari itu, karena nyawa harus bertaruh dengan kematian.

Selama luka masih bisa sembuh, tidak salah bila akhirnya aku memilih untuk bertahan 
Melangitkan doa-doa dengan terus berikhtiar

Memaksa hati untuk berdiri, akan memusnahkan penduduk bumi.

Kau tau harapan mereka saat berlayar? 
Tetap biarkan laut dan langit terhampar
Meski taruhan nyawa harus melayang.

#Stayathomeefek
Cairo, 30 Maret 2020.

Maret 24, 2020

,
Oleh: Fadal Mohamad 

Sore itu, senja menampakkan karisma cantiknya, gagah dan mempesona, dalam hatinya seakan ingin berkata-kata pada bumi: "wahai bumi, janganlah kau bersedih meskipun kau ditimpa berbagai macam musibah," lirihnya. Bumi hanya senyum-senyum kecil tak menanggapi. Pada dirinya ada kepercayaan dan keyakinan yang mungkin tak dimiliki oleh senja yang hendak tenggelam itu. 

Dikira bumi sudah menampakkan kecemasan dan kegalauan tinggi, menghadapi apa yang telah terjadi. Namun itu hanya fiktif belaka yang dimunculkan oleh otak-otak tak bertanggungjawab dari sang senja atas tuduhanannya. Bumi hanya diam, melihat dari kejauhan orang-orang terbirit-birit merasa cemas. 

Ada dorongan kuat pada perkataan dari sang senja, ia melihat fenomena yang belum pernah dilihat pada sore itu; di mana bumi penuh dengan keramaian, kesibukan, dengan sekejap menjadi bisu, sepi. Seakan bumi ingin sekali beristirahat dari pelbagai macam drama hidup yang manusia lakukan. Hal itu yang membuat senja merasa iba dengan keadaan bumi. Dengan nada tenang bumi pun berkata menanggapi: "ini bukan bencana, hanya cobaan pada kita untuk mengingat Sang Pencipta," jelasnya. Pun senja melihat sikap bumi kebingungan. 

Melihat hal ini, perbedaan tipis terjadi. Kegelisahan yang ditampakkan senja dengan kepercayaan bumi menghadapi cobaan yang terjadi. Ya, pada sikap di mana keduanya di hadapan fenomena itu. "Ada keyakinan bahwa ada kekuatan besar di balik ini semua," kata bumi. Kata-kata yang begitu dalam, melihat dari sebuah bencana terpandang olehnya hanyalah cobaan dan kasih sayang Tuhan terhadap dirinya. Dan juga ada kecemasaan senja melihat itu semua adalah bencana. 

“Agar cobaan terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allah lah yang memberimu cobaan. Zat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Zat yang selalu memberimu pilihan terbaik.” Seakan kalam Ibnu Athaillah begitu tertanam dalam batin sang bumi. Dia percaya bahwa itu semua dari kekuatan besar itu. Ada keyakinan kuat pada diri sang bumi.

Sikap berbeda antara keduanya lambang keadaan mereka berdua bersama Tuhan. Senja, melihat hal yang terjadi adalah sebuah bencana, sedangkan bumi melihat hal tersebut sebagai alarm hebat untuk sejenak ingat pada Sang Pencipta seluruh alam. Mungkin dari sini bisa dilihat sikap kedalaman cinta bumi pada Sang Pencipta, begitu jauh, dalam, sampai-sampai sang senja tidak mampu bersikap sama dengan sang bumi.

Melihat sikap senja, teringat pada kalam hikmah: “siapa saja yang mengira kelembutan kasih Allah terpisah dari takdir-Nya, maka itu terjadi karena keterbatasan pandangannya." Mungkin keterbatasan itulah motivasi pertama senja mengatakan hal itu. Namun, senja tidak patut disalahkan, karena bisa jadi hal ini menjadi batu loncatan menuju cinta yang dalam itu. 

Tak lama kemudian, keheningan muncul pada sore itu, senja hanya tersenyum manis pada bumi sambil menunggu gelap datang, seakan ada sesuatu energi tertancap pada dirinya; kekuatan besar. Ada rasa berbeda yang ia rasakan, yang mungkin tidak akan pernah ia temui lagi pada kesempatan setelahnya. Ada rasa cinta yang dalam di balik kecemasan yang ia buat sendiri. Pada akhirnya, gelap pun tiba, ada sedikit kata terlontar dari bibirnya: "terima kasih bumi atas ingatan cintamu pada Sang Maha Cinta". Sekian. 

Percakapan antara senja dan bumi hanya tokoh fiktif belaka, pada akhir kata penulis ingin mengatakan: "perbedaan cara pandang orang melihat suatu fenomena musibah itu sebagai azab dan hukuman dengan orang yang melihatnya sebagai cobaan, terletak pada keadaanmu bersama Sang Pencipta."

Maret 20, 2020

,
Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Puisi menurut KBBI di hp saya adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan larik dan bait. Atau bisa juga, gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang dalam pengalaman membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makan khusus. 

Ini dua gambaran puisi dari KBBI di telpon saya. Dalam tulisan ini saya membuka; apa itu puisi, untuk memberi gambaran awal sudut pandang saya pada puisi. 

Mulai bersinggungan dengan puisi masa-masa Mts-MA, waktu itu saya langganan baca Mading milik OSIS Mts dan MA. Jika tidak salah ingat, di situ ada rubrik sajak-sajak yang memuat puisi-puisi para santri. Masih awal-awal lumayan mudeng bacanya. Penilaian saya: puisi terlalu lama dan rumit bermain-main dengan kata yang sukar dimengerti. Lama-lama jadi sudah terbiasa, terbiasa tidak mengerti. Ya, sudah pindah mazhab saja. Setelah itu pindah ke mazhab cerpen dan novel. Di sana minat baca saya tumbuh. 

Sejak itu, saya mundur alon-alon dari puisi. Pikirnya, kok buang-buang waktu saja, membaca hal yang tak berfaedah bagi saya. Puncak 'benci' ini pada puisi, saat salah seorang kawan, tentu ia pengagum puisi—entah pengagum sungguhan atau pengagum kaleng-kaleng—berkata begini: "Puisi semakin sulit dipahami, itu artinya nilai sastranya kian tinggi." Saya tak tahu itu, apa hanya dibuat candaan atau memang adanya demikian. Pada intinya, saya tersinggung dengan ucapan kawan itu. "Kok ya bisa-bisanya, hal yang tak dimengerti pembaca punya nilai sastra yang tinggi," gerutu saya waktu itu. "Saya rasa, saya ini adalah orang penikmat kata-kata indah. Tapi, maaf tidak saya temui itu dalam dunia puisi," pembelaan lanjutan pada diri saya. 

Sekian lama puisi punya citra kurang baik dalam pikiran saya, baru kali ini tertarik untuk mendengar dan membaca puisi lagi. Jika hendak diurut dari awal, saya mulai tertarik lagi pada puisi, saat berkali-kali terkagum-kagum gubahan puisi Gusmus. Tapi tidak jadi saya teruskan, kenangan (sudut pandang) masa lalu masih mendominasi. Puisi tidak lebih hanya permainan kata-kata membingungkan mitranya bicaranya.

Sampai tiba waktu, saya dipertemukan dengan sosok yang tak asing di dunia puisi, Joko Pinorbo namanya, atau akrab dipanggil Jokpin. Sosok ini yang mengambilkan minat saya pada puisi. Puisi bukan lagi sekadar tentang permainan kata-kata ambigu, tanpa makna, melainkan ia merupakan karya sama seperti karya-karya sastra lainnya —sejauh mana ia mampu mempengaruhi lawan bicaranya hingga akan melahirkan dampak positif.

Jokpin memahami betul, sebenarnya ada yang minat puisi, meski setengah hati, tapi ya, itu tadi, kata-kata dalam bait puisi kadang masih kesulitan menyampaikan pesan dengan jelas dan lugas. Angkanya kian kempes, sebelum akhirnya mengembang kembali.

Riilnya, masa awal-awal jarang (tidak sebombastis karya sastra lainnya, semisal novel) dalam urusan penerbitan, ditambah lebih rumit lagi di urusan pemasaran. Jokpin ingin menggunting ini, menurutnya, sudah waktunya puisi setara dengan karya sastra lain, ia mudah diterbitkan dan mendapat sambutan dari pembacanya. Puncaknya orang jadi kepincut kepada puisi.

Untuk mewujudkan cita-citanya ia melakukan apa yang disebut desakralisasi puisi. Puisi bukan lagi tentang embun, mentari, senja ataupun malam. Ia mulai memasukkan kata-kata remeh-temeh atau receh ke dalam dunia puisi, semisal toilet, kamar mandi, bahkan kata asu atau anjing pun tak ketinggalan.

Berangkat dari upaya tersebut, ciri puisi-puisi Jokpin tidak menari-mari dalam kegenitan kata-kata. Sehinggga pesan yang ingin disampaikan benar-benar berhasil diserap oleh pembaca. Menurut saya, seyogianya demikian, untuk apa-apa bermain-main kata jika tidak melahirkan dampak positif. Tentu tidak semua harus setuju pada pandangan ini.

Kendati demikian, puisi tetaplah puisi, tak akan bergeser ke mana. Ia akan tetap ada, sebagaimana takdir melahirkannya. 

Apa yang saya ceritakan di awal tulisan ini, hanya sudut pandang dan pengalaman pribadi bersama puisi. Besar kemungkinan, orang yang saya dengar berbicara tentang puisi, sebenarnya ia tidak paham puisi—sama sekali puisi tak terwakili oleh ucapannya. 

Menuliskan ini, dalam rangka menumbuhkan kembali cinta yang sempat saya kubur dalam-dalam. Hikmahnya, jangan pernah membenci curah hujan, hanya karena tempat sujudmu hari ini kebanjiran, sebab akan datang waktu, kamu tak lagi mampu bersujud sebab dirimu telah kehilangan setitik curah hujan.



Maret 17, 2020

,
Oleh: Zis Hakim 

Na, sebelum aku mengenalmu. 
Aku bersama damai, aku mampu menyelesaikan semua urusan, dunia adalah milikku, segala kebutuhan ada di tanganku. 
Aku biasa mengatakan hitam sebagai putih atau putih sebagai warna yang lain, hanya agar aku sampai pada ingin.
Na, kamu berhasil membuatku untuk tidak percaya kepada diriku. Tak lagi berakidah bahwa dunia adalah segalanya.
Ada yang tak bisa sepenuhnya kucerna.
Ada yang tak bisa ku pahami secara sempurna.

Na, sebelum kamu terkenal dan ratingmu melambung melebihi artis papan atas, aku masih menyembah diri sendiri. Membenci yang tak sepaham, menyalahkan yang sekiranya mengancam, atau membahayakan, membunuh segala  yang buat kedudukan tergoncang.
Aku usir siapapun yang tak aku suka; tanah, air, api, bahkan angin.
Iya, Na, semuanya tidak lain hanya demi menaati sang ingin.

Tahun 2020 ini adalah milikmu Na, semua orang mendzikirkan namamu.
Mereka yang biasa ngantor di sawah atau yang biasa membajak gedung-gedung tinggi atau mereka yang bahkan tidak peduli pada teman sekarirmu atau bahkan anak kecil yang serius main robot-robotan pun tahu Na, tahu bahwa kamu ada, menggerutu lalu mendukungmu untuk tiada.

Aku mendawamkan takut yang khusyuk malah kepadamu, aku menghayati khawatir untuk tidak berhasil malah karenamu, aku lupa diriku, aku acuhkan tuhanku, aku malah ingat dirimu.

Na, mewakili seluruh penduduk bumi aku harap kau mengerti, bahwa hadirmu tak membuat kami menjadi lebih baik lagi.
Cukup Na, kami ingin sekolah, ingin kuliah, ingin belajar, ingin menjalani semuanya dengan wajar. Na, seharusnya tak perlu lagi ada korban, jika memang kau diciptakan oleh Tuhan.

Kairo, 14/02/2020

Maret 16, 2020

,
Ahad, 15 Maret 2020 mengadakan silaturahmi bulanan yang disampuli dengan: 2 Dekade Bersama FOSIKBA, dengan tema: "Meneguhkan Spirit Kebersamaan". Acara ini ditempatkan di sekretariat FOSIKBA dan dimulai tepat pada jam 04.00 Clt.

Acara silaturahmi kali dikemas berbeda dari sebelumnya, yaitu mendatangkan para sesepuh FOSIKBA dari angkatan 2004 - 2010 guna menceritakan perjalanan FOSIKBA dari masa ke masa, di antaranya oleh Ust. Abdul Halim Lc., MA. Angkatan 2004, Ust. Khotibul Umam Lc. Angkatan 2007, Ust. Lukman Fayad Lc. dan Ust. Sutrisno Dahlan angkatan 2010.

Dari mereka semua memiliki kesan yang sama, yaitu makna solidaritas yang terus melekat pada diri FOSIKBA. Merangkul dan juga saling membantu dan munculnya rasa kepedulian kebersamaan.

"FOSIKBA yang saya kenal adalah rasa solidaritas tinggi yang sudah tertanam pada diri mereka. Semoga rasa ini semakin bertambah dan semakin bertambah lagi," tegas salah di antara mereka.

Selain itu, mereka mengingatkan akan kesehatan dan tetap akan tujuan belajar kita untuk berada di bumi para nabi ini. 

"Yang perlu diperhatikan adalah kesehatan dan ilmu. Apabila kita tidak sehat bagaimana kita akan fokus terhadap tujuan kita," pesan Ust. Khotibul Umam. 

Terlebih pada kasus wabah yang menyebar di seluruh dunia saat ini, yaitu corona. Mereka menghimbau untuk senantiasa hati-hati dan berdoa agar diselamatkan dari virus tersebut.

Cerita demi cerita yang mereka curahkan tidak lain untuk memberi semangat akan saling menjaga solidaritas antar anggota. Bukan untuk mempertahankan, akan tetapi untuk menjadi lebih bertambah dan semakin bertambah.

Pada acara terakhir ditutup dengan dengan doa yang dipimpin oleh Bukhori Muslim Lc.

Maret 10, 2020

,


Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Manusia terdiri dari 2 unsur: jasad dan ruh. Hampir tidak ada yang menyangkal kenyataan ini. Dua-duanya butuh energi untuk bergerak, atau mudahnya, ia butuh makan. Jasad diciptakan dari tanah/bumi, maka jenis makanannya ada di sana. Tak usah saya beri tahu bagaimana manusia memberi makan jasadnya.

Manusia tidak diberi tahu banyak mengenai hakikat ruh. Ia hanya tahu setiap jasad manusia pasti ditopang oleh ruh. Jasad tidak berdiri sendiri. Ketika Allah berbicara ruh, ia menisbahkan pada zat-Nya. Jadi, jenis makanan yang dibutuhkan ruh kembali pada asalnya dari mana diturunkan.

Satu-satunya cara manusia memberi makan ruh dengan banyak merenung, menghayati keagungan Allah melalui ciptaan-Nya yang sangat indah dan teratur. Ruh ditugaskan oleh tuannya membantu manusia mencapai tujuan kehadirannya di persada ini.

Manusia tidak diciptakan dengan kesia-siaan. Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi.

Bagaimana ruh memainkan perannya? Itu mungkin bagian dari pertanyaan yang terlintas sementara orang. Jawabannya mudah sekali, khususnya kalian yang suka travelling. Coba ingat-ingat, ketika kalian sedang di taman, di hadapan hamparan bunga-bunga segar nan cantik. Mari ingat-ingat lagi, saat kalian berada di puncak gunung dengan udara sejuk dan pemandangan alam amat mempesona. Mari pasang lagi memori saat kalian di pantai, memandangi laut nan jauh di sana, terutama detik-detik mentari menyingsing di ufuk timur dan saat menjelang pulang menjemput malam. Indah bukan?

Saya tanya: apa yang kalian rasakan ketika itu? Tentu senang dan bahagia kan! Rasa itu menyusup pada jiwa kalian, tanpa kalian sadari dari mana ia datang. Aneh, bukan? Jika boleh saya kemukakan, saat itu ruh sedang memainkan perannya. Ia sedang mengajak kita berbicara untuk menggerakkan unsur yang paling berharga yang dimiliki manusia, ialah akal. Akal hanya diperuntukkan pada jenis makhluk Allah yang bernama manusia untuk digunakan sebagaimana mestinya, sebagai bentuk syukur atas anugerah-Nya. Ruh memulai percakapannya: “Itu loh, bunga-bunga yang super indah dengan semerbak bau harum, gunung-gunung yang kokoh, hamparan alam hijau, lautan dan seisinya serta pemanfaatannya, langit tinggi menjulang, matahari yang tak lelah menyinari bumi, tepat waktu pula. Taukah kamu siapa yang menciptaan itu semua?”

Ruh tak mampu berbuat banyak. Ibarat pesan WatsApp setelah ia terkirim, kemudian muncul centang dua warna biru pertanda pesan itu dibaca. Dibalas atau diabakan kembali pada personalnya.

Tiap manusia punya kemampuan berbeda-beda mendengar dan merespon percakapan dari ruh ini. Semakin sering ia diberi makan, semakin keras suaranya sehingga lebih mudah meresponnya. Sebaliknya, jika ia terabaikan suaranya menjadi lemah, dan mungkin saja suaranya tak terdengar sama sekali. Jika sudah begini, bagaimana mungkin mitra bicaranya mampu merespon. Sulit.

Jika ingin lebih lanjut mengetahui bagaimana para orang-orang hebat memberi perhatian khusus pada eksistensi ruh, dalam dunia sufi ada istilah dikenal dengan khalwat atau uzlah. Ketika ditelusuri lagi, ternyata tradisi khalwat ini, atau bahkan yang memulai terlebih dahulu adalah Nabi saw. Kitab-kitab sejarah mencatat: ketika beliau menginjak usia 40 tahun, ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia.

Bukti lain pentingnya uzlah ini, tak asing bagi kawan-kawan yang memiliki tradisi kuat ziarah pada para wali dan ulama akan menjumpai jejak khalwatnya. Di komplek pemakaman Sidi Ibnu Athaillah, misalnya, setidaknya ada dua jejak khalwat wali besar pada zamannya: Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud.

Indikasi kuat bahwa uzlah ini diperuntukkan untuk ibadah zikir merenungi keagungan Maha Pencipta, dipilihnya tempat yang benar-benar jauh dari jangkauan orang-orang, di lereng gunung misalnya, seperti yang dilakukan Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud ini. Rasulullah pun demikian, memilih gua Hira’ sebagai tempat uzlahnya.

Pada gilirannya akan berkata, kebutuhan jasmani dan rohani harus sama-sama terpenuhi supaya kehidupan ini tetap berjalan baik. Ketangguhan fisik murni dibutuhkan karena kita seorang pekerja yang diamanahi tugas membangun dan memakmurkan bumi. Tak mengagetkan jika Nabi berkata: “Mukmin yang sehat lebih Allah cintai dari mukmin yang pesakitan.”

Kekuataan spritual menjadi penting, agar manusia tidak melalaikan tugasnya. Karena dalam jiwa manusia ada pontensi untuk lengah dan lalai terhadap kewajiban yang diembannya. “Dirikanlah salat (sebagaimana semestinya) untuk mengingatku,” demikian bunyi perintah Allah. Salat didirikan untuk mengingat Allah yang telah mengamanahkan aneka tugas pada hamba-Nya. Dengan demikian, dalam sehari mimimalnya 5 kali manusia wajib menghadap majikannya.

Maret 06, 2020

,
Dalam hidup pasti kita merasakan apa yang dinamakan cinta. Karena hal tersebut memang telah menjadi fitrah dan naluri setiap makhluk yang bernyawa—baik cinta pada sesama, bahkan cinta pada Sang Pencipta.

Berbicara cinta memang sudah tidak asing di telinga. Kata sederhana yang mudah diucap dan teramat sangat berat dalam pijak. Kalau kita melihat ungkapan Syekh al-Fadhil dalam kitab Qomi’ut al-Tughyan: “Ketika dikatakan kepadamu: apakah kamu mencintai Allah? Maka hendaklah engkau diam, karena jika kamu mengatakan 'tidak', maka kamu telah kufur. Namun jika kamu mengatakan ’iya’, maka kamu bukan termasuk orang-orang yang cinta (kepada Allah).”

Dari ungkapan Syekh al-Fadhil kita belajar tentang kehati-hatian serta nilai berharga dari pada cinta. Ia bukan hanya ucapan kosong melainkan perbuatan nyata.
Dan di kitab yang dikarang oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Hatim bin Alwan menguatkan: "Barang siapa mengaku-ngaku atas tiga hal tanpa adanya tiga hal yang lain, maka ia dinilai berbohong. Pertama, barang siapa yang mengaku mencintai Allah namun tidak menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka ia telah berbohong. Kedua, barang siapa yang mengaku mencintai Nabi saw. tanpa mencintai orang-orang fakir, maka ia telah berbohong. Ketiga, barang siapa mengaku mencintai surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia telah berbohong.

Di sisi lain masih dalam kitab yang sama, Imam Sahl mengemukakan tentang cinta dan ciri-ciri orang yang bersangkutan, sebagai berikut:
"Ciri-ciri  orang yang cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur’an. Ciri-ciri orang yang cinta al-Quran adalah cinta kepada nabi Muhammad saw. Ciri-ciri cinta Nabi Muhammad saw. adalah cinta pada Sunahnya. Ciri-ciri cinta pada sunah Nabi saw. adalah cinta pada akhirat. Ciri-ciri cinta akhirat adalah benci terhadap dunia dan ciri-ciri benci dunia adalah dengan tidak mengambil suatu yang berbau duniawi sebagai bekal untuk menuju akhirat.”

Dengan hati yang bersih, keberadaan cahaya iman menyebabkan setan takut mengelilinginya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: "Jikalau setan-setan tidak mengelilingi hati anak-anak Adam, niscaya mereka dapat memandang alam Malakut yang tinggi." [HR. Ahmad]

Terlepas dari semua tulisan yang kebanyakan mengutip dari kitab Qomi’ut Tughyan ini, mari sama-sama kita intropeksi diri. Apakah cinta kita sudah benar-benar dikategorikan cinta atau hanya bual belaka. Sebab hanya dengan cinta yang sesungguhnya keindahan akan tercurah dengan seutuhnya.

Tabik,

Fath Rosi Ahmad

Maret 02, 2020

,
Tidak jarang kita dengar istilah mukjizat, namun sejauh mana kemampuan kita memahami istilah tersebut. Bahkan untuk merasionalkan pun sukar sekali karena memang kejadiannya di luar nalar. Satu-satunya mukjizat terbesar yang masih utuh keasliannya sampai saat ini adalah al-Qur'an. Disebut mukjizat terbesar karena al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Salah satu bukti lain bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar adalah Allah yang menurunkan al-Qur'an maka Allah yang menjaganya dari segala bentuk perubahan.


Al-Qur'an diturunkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau ada pertanyaan yang sekiranya butuh jawaban, maka turunlah ayat al-Qur'an untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur serta penataan ayat dan surah dalam al-Qur'an yang tidak sesuai pasca awal turunnya bisa kita cari hikmah di balik penataan serta peletakan ayat-ayat dalam al-Qur'an. Apakah ada kesinambungan antar ayat sebelum dan sesudahnya atau antar surah sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebut dengan ilmu Munāsabat Baina Suar wal Āyāt.

Ilmu Munasabat sendiri jarang disinggung oleh para mufassir karena saking detailnya ilmu tersebut, bagaimana mungkin al-Qur’an merupakan kalam ilahi,sudah barang tentu semua hal yang tercakup dan berhubungan dengan al-Quran ditetapkan oleh Allah SWT. Dari ketetapan itu pula para mufassir mencoba memahi dan membahas al-Quran dari berbagai aspek, sehingga tidak pernah berakhir untuk dibahas, sebagaimana ungkapan Syekh Abdullah Darraz: “Al-Qur’an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya.” 

Sebelum lebih lanjut mengenal munasabat, alangkah baiknya jika kita mengetahui makna munasabat itu sendiri.
Munasabat secara etimologi berarti Musyākalah (keserupaan) dan Muqarabah (kedekatan). Secara terminologi Munasabat berarti korelasi antara ayat dan ayat atau surah dan surah—sebelum dan sesudahnya, karena adanya keserupaan atau kedekatan lafadz atau makna.

Di antara hikmah mengetahui ilmu munasabat adalah memahami makna al-Qur'an dan mempermudah untuk menafsirkan ayat sesuai dengan temanya. Ada banyak macam-macam musabat dalam al-Qur'an. Namun, saya cukupkan menyebutkan satu contoh. Saya pikir sangat menarik untuk dikemukakan, yaitu: munasabat antar awal surat dengan akhir surat yang sama.

Zamakhsyari berkata: "Allah Swt. mengawali surah al-Mukminun dengan ayat: قد أفلح المؤمنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لا يفلح الكافرون. Dalam surah Nun Allah Swt. memulai dengan ayat: ما أنت بنعمتك ربك بمجنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لمجنون. 

Dan juga pembandingan antar surah al-Kautsar dengan surah sebelumnya (al-Ma'un). Allah Swt. menyifati munafik dalam surah al-Ma’un dengan empat perkara, yaitu: al-Bukhl (kikir), Tarku as-Sālah (meninggalkan shalat), Riyā' (beramal karena orang lain) dan Man'u az-Zakāh (tidak bayar zakat). Allah bandingkan sifat kikir dengan ayat: إنا أعطيناك الكوثر. Orang yang meninggalkan salat dibandingkan dengan ayat: فصل. Sifat riya' dibandingkan dengan ayat: لربك. Dan orang yang tidak bayar zakat dibandingkan dengan ayat: وانحر dengan bersedekah daging kurban.

Dari contoh munasabat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar dengan penataan ayat serta surahnya. Bukan sebatas asal meletakkan, melainkan atas perintah Allah Swt.  kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan riwayat Ustman bin Affan. Suatu hari turun sejumlah ayat kepada Rasulullah. Kemudian ia memanggil sekretarisnya dan berkata: "Letakkan ayat ini bersama dengan ayat itu, dan surah ini bersama surah itu." 

Artinya, peletakan atau penataan ayat-per-ayat dan surah-per-surah murni Tauqifi dari Allah Swt. Tidak ada campur tangan makhluknya. Rahasia keserasian antar ayat dan surah hanya diketahui bagi orang-orang yang belajar dan mendalami ilmu-ilmu al-Quran.

Tabik,

Dhaifil Ihsan

Follow Us @soratemplates