Maret 24, 2020

Di Balik Kecemasan, Ada Cinta yang Dalam

Oleh: Fadal Mohamad 

Sore itu, senja menampakkan karisma cantiknya, gagah dan mempesona, dalam hatinya seakan ingin berkata-kata pada bumi: "wahai bumi, janganlah kau bersedih meskipun kau ditimpa berbagai macam musibah," lirihnya. Bumi hanya senyum-senyum kecil tak menanggapi. Pada dirinya ada kepercayaan dan keyakinan yang mungkin tak dimiliki oleh senja yang hendak tenggelam itu. 

Dikira bumi sudah menampakkan kecemasan dan kegalauan tinggi, menghadapi apa yang telah terjadi. Namun itu hanya fiktif belaka yang dimunculkan oleh otak-otak tak bertanggungjawab dari sang senja atas tuduhanannya. Bumi hanya diam, melihat dari kejauhan orang-orang terbirit-birit merasa cemas. 

Ada dorongan kuat pada perkataan dari sang senja, ia melihat fenomena yang belum pernah dilihat pada sore itu; di mana bumi penuh dengan keramaian, kesibukan, dengan sekejap menjadi bisu, sepi. Seakan bumi ingin sekali beristirahat dari pelbagai macam drama hidup yang manusia lakukan. Hal itu yang membuat senja merasa iba dengan keadaan bumi. Dengan nada tenang bumi pun berkata menanggapi: "ini bukan bencana, hanya cobaan pada kita untuk mengingat Sang Pencipta," jelasnya. Pun senja melihat sikap bumi kebingungan. 

Melihat hal ini, perbedaan tipis terjadi. Kegelisahan yang ditampakkan senja dengan kepercayaan bumi menghadapi cobaan yang terjadi. Ya, pada sikap di mana keduanya di hadapan fenomena itu. "Ada keyakinan bahwa ada kekuatan besar di balik ini semua," kata bumi. Kata-kata yang begitu dalam, melihat dari sebuah bencana terpandang olehnya hanyalah cobaan dan kasih sayang Tuhan terhadap dirinya. Dan juga ada kecemasaan senja melihat itu semua adalah bencana. 

“Agar cobaan terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allah lah yang memberimu cobaan. Zat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Zat yang selalu memberimu pilihan terbaik.” Seakan kalam Ibnu Athaillah begitu tertanam dalam batin sang bumi. Dia percaya bahwa itu semua dari kekuatan besar itu. Ada keyakinan kuat pada diri sang bumi.

Sikap berbeda antara keduanya lambang keadaan mereka berdua bersama Tuhan. Senja, melihat hal yang terjadi adalah sebuah bencana, sedangkan bumi melihat hal tersebut sebagai alarm hebat untuk sejenak ingat pada Sang Pencipta seluruh alam. Mungkin dari sini bisa dilihat sikap kedalaman cinta bumi pada Sang Pencipta, begitu jauh, dalam, sampai-sampai sang senja tidak mampu bersikap sama dengan sang bumi.

Melihat sikap senja, teringat pada kalam hikmah: “siapa saja yang mengira kelembutan kasih Allah terpisah dari takdir-Nya, maka itu terjadi karena keterbatasan pandangannya." Mungkin keterbatasan itulah motivasi pertama senja mengatakan hal itu. Namun, senja tidak patut disalahkan, karena bisa jadi hal ini menjadi batu loncatan menuju cinta yang dalam itu. 

Tak lama kemudian, keheningan muncul pada sore itu, senja hanya tersenyum manis pada bumi sambil menunggu gelap datang, seakan ada sesuatu energi tertancap pada dirinya; kekuatan besar. Ada rasa berbeda yang ia rasakan, yang mungkin tidak akan pernah ia temui lagi pada kesempatan setelahnya. Ada rasa cinta yang dalam di balik kecemasan yang ia buat sendiri. Pada akhirnya, gelap pun tiba, ada sedikit kata terlontar dari bibirnya: "terima kasih bumi atas ingatan cintamu pada Sang Maha Cinta". Sekian. 

Percakapan antara senja dan bumi hanya tokoh fiktif belaka, pada akhir kata penulis ingin mengatakan: "perbedaan cara pandang orang melihat suatu fenomena musibah itu sebagai azab dan hukuman dengan orang yang melihatnya sebagai cobaan, terletak pada keadaanmu bersama Sang Pencipta."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates