Maret 20, 2020

Didakwahi Jokpin, Kembali Usai Lama Menepi

Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Puisi menurut KBBI di hp saya adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan larik dan bait. Atau bisa juga, gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang dalam pengalaman membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makan khusus. 

Ini dua gambaran puisi dari KBBI di telpon saya. Dalam tulisan ini saya membuka; apa itu puisi, untuk memberi gambaran awal sudut pandang saya pada puisi. 

Mulai bersinggungan dengan puisi masa-masa Mts-MA, waktu itu saya langganan baca Mading milik OSIS Mts dan MA. Jika tidak salah ingat, di situ ada rubrik sajak-sajak yang memuat puisi-puisi para santri. Masih awal-awal lumayan mudeng bacanya. Penilaian saya: puisi terlalu lama dan rumit bermain-main dengan kata yang sukar dimengerti. Lama-lama jadi sudah terbiasa, terbiasa tidak mengerti. Ya, sudah pindah mazhab saja. Setelah itu pindah ke mazhab cerpen dan novel. Di sana minat baca saya tumbuh. 

Sejak itu, saya mundur alon-alon dari puisi. Pikirnya, kok buang-buang waktu saja, membaca hal yang tak berfaedah bagi saya. Puncak 'benci' ini pada puisi, saat salah seorang kawan, tentu ia pengagum puisi—entah pengagum sungguhan atau pengagum kaleng-kaleng—berkata begini: "Puisi semakin sulit dipahami, itu artinya nilai sastranya kian tinggi." Saya tak tahu itu, apa hanya dibuat candaan atau memang adanya demikian. Pada intinya, saya tersinggung dengan ucapan kawan itu. "Kok ya bisa-bisanya, hal yang tak dimengerti pembaca punya nilai sastra yang tinggi," gerutu saya waktu itu. "Saya rasa, saya ini adalah orang penikmat kata-kata indah. Tapi, maaf tidak saya temui itu dalam dunia puisi," pembelaan lanjutan pada diri saya. 

Sekian lama puisi punya citra kurang baik dalam pikiran saya, baru kali ini tertarik untuk mendengar dan membaca puisi lagi. Jika hendak diurut dari awal, saya mulai tertarik lagi pada puisi, saat berkali-kali terkagum-kagum gubahan puisi Gusmus. Tapi tidak jadi saya teruskan, kenangan (sudut pandang) masa lalu masih mendominasi. Puisi tidak lebih hanya permainan kata-kata membingungkan mitranya bicaranya.

Sampai tiba waktu, saya dipertemukan dengan sosok yang tak asing di dunia puisi, Joko Pinorbo namanya, atau akrab dipanggil Jokpin. Sosok ini yang mengambilkan minat saya pada puisi. Puisi bukan lagi sekadar tentang permainan kata-kata ambigu, tanpa makna, melainkan ia merupakan karya sama seperti karya-karya sastra lainnya —sejauh mana ia mampu mempengaruhi lawan bicaranya hingga akan melahirkan dampak positif.

Jokpin memahami betul, sebenarnya ada yang minat puisi, meski setengah hati, tapi ya, itu tadi, kata-kata dalam bait puisi kadang masih kesulitan menyampaikan pesan dengan jelas dan lugas. Angkanya kian kempes, sebelum akhirnya mengembang kembali.

Riilnya, masa awal-awal jarang (tidak sebombastis karya sastra lainnya, semisal novel) dalam urusan penerbitan, ditambah lebih rumit lagi di urusan pemasaran. Jokpin ingin menggunting ini, menurutnya, sudah waktunya puisi setara dengan karya sastra lain, ia mudah diterbitkan dan mendapat sambutan dari pembacanya. Puncaknya orang jadi kepincut kepada puisi.

Untuk mewujudkan cita-citanya ia melakukan apa yang disebut desakralisasi puisi. Puisi bukan lagi tentang embun, mentari, senja ataupun malam. Ia mulai memasukkan kata-kata remeh-temeh atau receh ke dalam dunia puisi, semisal toilet, kamar mandi, bahkan kata asu atau anjing pun tak ketinggalan.

Berangkat dari upaya tersebut, ciri puisi-puisi Jokpin tidak menari-mari dalam kegenitan kata-kata. Sehinggga pesan yang ingin disampaikan benar-benar berhasil diserap oleh pembaca. Menurut saya, seyogianya demikian, untuk apa-apa bermain-main kata jika tidak melahirkan dampak positif. Tentu tidak semua harus setuju pada pandangan ini.

Kendati demikian, puisi tetaplah puisi, tak akan bergeser ke mana. Ia akan tetap ada, sebagaimana takdir melahirkannya. 

Apa yang saya ceritakan di awal tulisan ini, hanya sudut pandang dan pengalaman pribadi bersama puisi. Besar kemungkinan, orang yang saya dengar berbicara tentang puisi, sebenarnya ia tidak paham puisi—sama sekali puisi tak terwakili oleh ucapannya. 

Menuliskan ini, dalam rangka menumbuhkan kembali cinta yang sempat saya kubur dalam-dalam. Hikmahnya, jangan pernah membenci curah hujan, hanya karena tempat sujudmu hari ini kebanjiran, sebab akan datang waktu, kamu tak lagi mampu bersujud sebab dirimu telah kehilangan setitik curah hujan.



1 komentar:

Follow Us @soratemplates