Maret 10, 2020

Duduk Perkaranya, Ihwal Menu Makan Malam



Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Manusia terdiri dari 2 unsur: jasad dan ruh. Hampir tidak ada yang menyangkal kenyataan ini. Dua-duanya butuh energi untuk bergerak, atau mudahnya, ia butuh makan. Jasad diciptakan dari tanah/bumi, maka jenis makanannya ada di sana. Tak usah saya beri tahu bagaimana manusia memberi makan jasadnya.

Manusia tidak diberi tahu banyak mengenai hakikat ruh. Ia hanya tahu setiap jasad manusia pasti ditopang oleh ruh. Jasad tidak berdiri sendiri. Ketika Allah berbicara ruh, ia menisbahkan pada zat-Nya. Jadi, jenis makanan yang dibutuhkan ruh kembali pada asalnya dari mana diturunkan.

Satu-satunya cara manusia memberi makan ruh dengan banyak merenung, menghayati keagungan Allah melalui ciptaan-Nya yang sangat indah dan teratur. Ruh ditugaskan oleh tuannya membantu manusia mencapai tujuan kehadirannya di persada ini.

Manusia tidak diciptakan dengan kesia-siaan. Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi.

Bagaimana ruh memainkan perannya? Itu mungkin bagian dari pertanyaan yang terlintas sementara orang. Jawabannya mudah sekali, khususnya kalian yang suka travelling. Coba ingat-ingat, ketika kalian sedang di taman, di hadapan hamparan bunga-bunga segar nan cantik. Mari ingat-ingat lagi, saat kalian berada di puncak gunung dengan udara sejuk dan pemandangan alam amat mempesona. Mari pasang lagi memori saat kalian di pantai, memandangi laut nan jauh di sana, terutama detik-detik mentari menyingsing di ufuk timur dan saat menjelang pulang menjemput malam. Indah bukan?

Saya tanya: apa yang kalian rasakan ketika itu? Tentu senang dan bahagia kan! Rasa itu menyusup pada jiwa kalian, tanpa kalian sadari dari mana ia datang. Aneh, bukan? Jika boleh saya kemukakan, saat itu ruh sedang memainkan perannya. Ia sedang mengajak kita berbicara untuk menggerakkan unsur yang paling berharga yang dimiliki manusia, ialah akal. Akal hanya diperuntukkan pada jenis makhluk Allah yang bernama manusia untuk digunakan sebagaimana mestinya, sebagai bentuk syukur atas anugerah-Nya. Ruh memulai percakapannya: “Itu loh, bunga-bunga yang super indah dengan semerbak bau harum, gunung-gunung yang kokoh, hamparan alam hijau, lautan dan seisinya serta pemanfaatannya, langit tinggi menjulang, matahari yang tak lelah menyinari bumi, tepat waktu pula. Taukah kamu siapa yang menciptaan itu semua?”

Ruh tak mampu berbuat banyak. Ibarat pesan WatsApp setelah ia terkirim, kemudian muncul centang dua warna biru pertanda pesan itu dibaca. Dibalas atau diabakan kembali pada personalnya.

Tiap manusia punya kemampuan berbeda-beda mendengar dan merespon percakapan dari ruh ini. Semakin sering ia diberi makan, semakin keras suaranya sehingga lebih mudah meresponnya. Sebaliknya, jika ia terabaikan suaranya menjadi lemah, dan mungkin saja suaranya tak terdengar sama sekali. Jika sudah begini, bagaimana mungkin mitra bicaranya mampu merespon. Sulit.

Jika ingin lebih lanjut mengetahui bagaimana para orang-orang hebat memberi perhatian khusus pada eksistensi ruh, dalam dunia sufi ada istilah dikenal dengan khalwat atau uzlah. Ketika ditelusuri lagi, ternyata tradisi khalwat ini, atau bahkan yang memulai terlebih dahulu adalah Nabi saw. Kitab-kitab sejarah mencatat: ketika beliau menginjak usia 40 tahun, ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia.

Bukti lain pentingnya uzlah ini, tak asing bagi kawan-kawan yang memiliki tradisi kuat ziarah pada para wali dan ulama akan menjumpai jejak khalwatnya. Di komplek pemakaman Sidi Ibnu Athaillah, misalnya, setidaknya ada dua jejak khalwat wali besar pada zamannya: Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud.

Indikasi kuat bahwa uzlah ini diperuntukkan untuk ibadah zikir merenungi keagungan Maha Pencipta, dipilihnya tempat yang benar-benar jauh dari jangkauan orang-orang, di lereng gunung misalnya, seperti yang dilakukan Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud ini. Rasulullah pun demikian, memilih gua Hira’ sebagai tempat uzlahnya.

Pada gilirannya akan berkata, kebutuhan jasmani dan rohani harus sama-sama terpenuhi supaya kehidupan ini tetap berjalan baik. Ketangguhan fisik murni dibutuhkan karena kita seorang pekerja yang diamanahi tugas membangun dan memakmurkan bumi. Tak mengagetkan jika Nabi berkata: “Mukmin yang sehat lebih Allah cintai dari mukmin yang pesakitan.”

Kekuataan spritual menjadi penting, agar manusia tidak melalaikan tugasnya. Karena dalam jiwa manusia ada pontensi untuk lengah dan lalai terhadap kewajiban yang diembannya. “Dirikanlah salat (sebagaimana semestinya) untuk mengingatku,” demikian bunyi perintah Allah. Salat didirikan untuk mengingat Allah yang telah mengamanahkan aneka tugas pada hamba-Nya. Dengan demikian, dalam sehari mimimalnya 5 kali manusia wajib menghadap majikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates