April 22, 2019

,


Baru-baru ini, di Youtube ada sebuah film yang bertajuk Sexy Killer. Judulnya yang menarik dengan nuansa dewasa membuata saya tertarik. Dengan sigap saya langsung mengklik video tersebut.  Saya harap kalian tidak seperti saya, yang mengklik tulisan ini karena judulnya yang bernuansa dewasa. Tapi, tidak apa, meski tujuan kalian memang ingin melihat nuansa dewasa. Karena itu akan membuat kalian semakin dewasa.
______

Di perjalanan Jogja-Pontianak saya iseng membuka majalah yang disediakan di depan saya. Sebenarnya, saya trauma ikut maskapai penerbangan ini. Karena, bulan lalu waktu saya melakukan perjalanan Jakarta-Pontinak koper saya dibobol oleh petugas bagasinya. Tentu ini adalah perbuatan zalim yang dilarang keras oleh agama. Sekarang saya ikut maskapai ini lagi, karena saya tidak membawa banyak barang, hanya tas gendong. Sudahlah! Itu sudah belalu.

Saya kembali lagi fokus pada majalah yang ada di tangan saya. Lembar demi lembar saya telusuri. Majalah ini memuat tentang keindahan alam, tempat wisata dan keanekaragaman suku di Indonesia. Saya sangat menikmati semua konten-kontennya. Saya terpesona sekaligus bangga karena telah menjadi bagian dari warga Indonesia dengan alam yang sangat indah dan keanekaragaman suku yang hidup rukun nan ramah. Jemari saya terus menelusuri lembaran majalah itu hingga akhirnya saya tiba di sebuah rubrik yang memuat sebuah artikel dengan judul yang sangat menarik.

Tulisan  yang mampu membuat jemari saya harus berhenti dihalaman tersebut dimulai dengan kisah seorang pemuda kampung yang sedang berjalan-jalan ke sebuah kota.  Setibanya di kota pemuda itu melihat banyak keramaian dan akhirnya ia tertarik untuk mengahampiri sebuah kerumunan. Ia pun berdesak-desakan agar ia bisa berada di baris paling depan.

"Ini adalah benda yang sangat ajaib yang pernah ada" Teriak laki-laki yang berdiri ditengah-tengah kerumunan itu sambil menunjuk pada mikroskop yang diletakkan di atas sebuah meja.
Penasaran dengan perkataan laki-laki tersebut, si pemuda menyimak dengan perhatian penuh.

Tiba-tiba ia mendengar suara laki-laki itu memanggilnya, ”Hei, kamu!”
Si pemuda menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan siapa yang dimaksud oleh si laki-laki itu.
”Iya, kamu!” Lanjut si laki-laki. ”Ayo naik!”

Dalam kebingungannya, si pemuda melangkah ragu-ragu naik ke atas panggung.
”Lihat!” Si laki-laki memerintah si pemuda seraya menunjuk ke arah lubang mikroskop.
Si pemuda pun membungkukkan badannya perlahan-lahan dan mengintip ke dalam lubang tersebut.

”Astaga!” Seru si pemuda, hampir tidak percaya dengan penglihatannya.

Rupanya si laki-laki meletakkan sehelai kelopak bunga di bawah mikroskop tersebut. Si pemuda bisa melihat serat-serta kelopak bunga yang indah.

Lalu si laki-laki mengganti kelopak bunga tersebut dengan sebutir berlian. ”Nah, sekarang lihat lagi!” Perintah si laki-laki.
Kali ini, dengan penasaran si pemuda segera mengintip kembali lubang mikroskop tersebut.

”Waawww!!!!” Si pemuda bersorak kegirangan.

Dengan wajah berseri-seri ia pun tertawa gembira ke arah penonton seraya mengacungkan kedua jempol tangannya. Melalui mikroskop ini ia bisa melihat pantulan sinar-sinar berlian dengan sangat jelas dan indah.
Ketika si laki-laki penjual menawarkan mikroskop tersebut, ia pun segera membayarnya tanpa menawar-nawar lagi.

Setibanya di kampung, si pemuda memanggil semua warga kampung. Lalu setelah seluruh penduduk kampung berkumpul ia pun menjelaskan mikroskop yang baru dibelinya. Lalu ia pun memperagakan mikroskop tersebut seperti si laki-laki penjual tadi. Dengan rasa penasaran yang tinggi, ia pun mencoba berbagai benda untuk ditaruh di bawah lensa mikroskop tersebut.

Setelah puas bermain-main dengan mikroskop barunya, si pemuda pun merasa lapar dan bersiap-siap untuk menyantap hidangan makan. Sesaat sebelum melahap makanannya, si pemuda tiba-tiba tertarik dengan sambal kesukaannya.

”Saya sudah makan sambal ini bertahun-tahun. Penasaran, apa sih isinya?” Demikian gumam si pemuda.

Ia pun lalu mengambil sedikit sambal kesukaannya itu dan meletakkannya di bawah lensa mikroskop. Dengan perasaan berdebar-debar, ia pun mengintip lubang mikroskop tersebut.

”Astaga…????” Si pemuda kaget luar biasa.
Dengan jelas ia melihat cacing-cacing yang sangat kecil menari-nari di dalam sambal tersebut. Setengah tak percaya, si pemuda bersandar di dinding dengan penuh kebingungan.

”Apa yang harus aku lakukan?”
Setelah melihat kenyataan yang mengejutkan itu, si pemuda bimbang apakah ia harus menghentikan memakan sambal kesukaannya itu? Cukup lama ia berdiam diri tidak bergerak.

Sampai akhirnya si pemuda berusaha bangun dengan kekuatan tenaga yang tersisa. Ia pun melangkah gontai dan akhirnya mengambil mikroskop tersebut. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya ke halaman rumahnya. Sesaat ia berhenti melangkah, menarik nafas dalam-dalam dan menengadah ke atas. Lalu dengan berteriak nyaring, si pemuda membanting mikroskop tersebut sampai rusak dan melemparnya di antara semak belukar.

Sejenak saya mengangkat kepala saya, menoleh ke jendela melihat keindahan hamparan  awan yang membentuk seperti kerajaan langit. Saya menyandarkan badan sambil meresapi kisah pemuda kampung yang baru saja saya baca.

"Sebenarnya pemuda kampung itu adalah saya dan mikroskopnya itu adalah pengetahuan yang saya gunakan untuk menilai semua situasi atau sesuatu yang saya hadapi.

Saya sering menerima sebuah kenyataan atau pernyataan apabila itu sesuai dengan kemauan saya. Tapi, lebih sering lagi saya menolak sebuah fakta, hanya karena fakta itu bertentangan dengan kehendak atau keinginan saya. Bahkan, dengan modah menganggap fakta tersebut adalah sebuah dusta.

Seharusnya jika saya menerima keindahan yang saya lihat pada berlian dan kelopak bunga itu tentunya saya juga harus bisa menerima ulat-ulat kecil yang saya lihat pada sambal yang saya sukai itu dan berusaha untuk berhenti mengkonsumsinya agar  tidak sakit perut. Bukan malah membanting dan membuang mikroskop itu."

"Maaf, Pak! Mohon tegakkan lagi kursinya. Karena sebentar lagi kita akan landing" Suara itu seketika membuyarkan kontemplasi saya dengan tulisan yang baru saja saya resapi. Saya langsung menoleh kearahnya. Seorang pramugari seksi, cantik sedang berdiri tegak. Bajunya yang ketat melukis lekuk tubuh indahnya. Belahan roknya membelah hingga ke bagian paha.

Di situ, saya teringat lagi dengan kisah pemuda kampung dengan mikroskopnya. Saat itu seakan-akan saya adalah ejawantahan dari wantah pemuda kampung itu. Saya tahu kalau apa yang saya lihat adalah hal yang dilarang dalam keyakinan saya. Tapi kenapa saya masih melihatnya. Saat itu pula saya telah membanting, menghancurkan mikroskop yang saya dapatkan dengan susah payah. Mengahbiskan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkanya dilembaga-lembaga pendidikan.


Saya lihat lagi wajah meronaya, dia mengukir sebuah senyum yang sangat ramah. Seketika itu saya langsung menegakkan kursi dan kembali duduk dengan tenang. Saya lihat pramugari seksi itu beranjak pergi mengecek kursi penumpang lain. Saya kembali melihat sayap burung besi diluar jendela.  Pemandangan hijau dan rumah-rumah sangat menakjubkan dinikmati dari ketinggian.

Mempertahankan mikroskop itu sangat sulit apalagi kita belum siap untuk melihat hasilnya. Jika tadi dengan lugas saya mengatakan bahwa perbutan salah satu maskapai ini adalah sebuah kezaliman karena telah membobol koper saya dan saya sangat setuju dengan hal itu. Karena perbuatan itu sudah sangat merugikan saya apalagi perbuatan itu sudah sangat jelas dilarang oleh agama. Tapi, kenapa ketika saya melihat pramugari seksi tadi saya sangat sulit untuk mengatakan bahwa hal itu juga dilarang keras dalam agama. Bahkan saya dengan santai menikmati pemandangan itu.

18.30 WIB. saya tiba di Bandara Supadio Pontianak. Di pintu keluar pramugari seksi itu melempari saya senyuman ramah untuk kedua kalinya dan mengucapkan terima kasih.

Hanya orang yang memiliki kesiapan, kekuatan, kedewasaan dan ketakwaan yang bisa mempertahankan mikroskop itu. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kalian ingin melihat nuansa dewasa(ingat pikiran harus tetap fositif) agar kalian lebih dewasa dan bijak dalam menilai sesuatu.

Terima kasih pramugari seksi karena kamu telah mengajari saya kedewasaan dalam menilai sesuatu.

Kalau kalian belum menonton Sexy Killer, silahkan tonton agar kalian semakin dewasa dalam melihat keindahan Alam Indonesia yang lebih mempesona dari pramugari seksi tadi, lebih indah dari apa yang saya lihat di majalah dan lebih menakjubkan dari apa yang saya lihat dari jendela kecil pesawat. Sebelum keindahan itu dirusak oleh segelintir orang-orang elit. Karena mereka sudah sejak lama membanting dan membuang mekroskopnya demi kepuasan mereka.


Note; jangan terlalu serius membayangkan pramugari seksi itu, nanti bisa kerasukan jin. Ha ha ha 

April 17, 2019

,

Dialektika kata dan makna menjadi diskusi yang menarik di meja para ahli bahasa, khususnya ulama balaghah. Sejak al-Jahizh menyatakan bahwa makna itu berseleweran di jalan;  makna bisa dipungut oleh siapa saja, baik penyair ataupun bukan, kata kemudian dipersepikan sebagai pusat dari makna.
Persepsi ini kemudian menjadi keyakinan bersama (common sense). Sehingga hal ini membuat gelisah Abdul Qahir al-Jurjani yang hidup dua abad setelah al-Jahizh. Bagi al-Jurjani, persepsi bahwa kata adalah akar dari makna, ini menciderai hakikat al-Bayan yang oleh al-Jahizh sendiri didefinisikan sebagai instrument mengungkap sebuah makna sehingga pendengar bisa sampai kepada makna yang dikehendaki oleh penutur. al-Bayan adalah media penutur dalam mengungkapkan makna yang dikehendakinya.
Sebelum al-Jurjani, makna dipersepsikan sebagai anak yang lahir dari kata, dengan bahasa yang berbeda, makna yang mengikuti kata, bukan kata yang mengikuti makna. al-Jurjani berusaha medekonstruksi pemahaman ini. Kesalahan persepsi ini bagi al-Jurjani berakar dari kesalahan sudut pandang dalam melihat kata. Jika dilihat dari sisi pendengar, maka yang tampak adalah makna mengikuti kata. Namun jika dilihat dari sisi penutur, kata lah yang mengikuti makna.
Bagi al-Jurjani, kata seharusnya tidak dilihat dari sisi pendengar, melainkan ia harus dilihat dari sisi penutur, sehingga proses terciptanya kata dimulai dari kehendak dan makna yang berada di dalam diri si penutur. Maka dalam pandangan al-Jurjani, relasi yang benar adalah kata mengikuti makna, dan makna mengikuti kehendak si penutur. Karenanya, dalam kajian ilmu balaghah, interpretasi teks atau kata harus sesuai dengan makna yang dikehendaki si penutur. Kehendak si penutur harus selalu hadir di dalam setiap interpretasi kita terhadap teks atau kata. Karenanya juga, Siyaq atau konteks menjadi sangat penting dipahami untuk memahami dan menemukan maksud dan kehendak si penutur, karena konteks lah yang mendorong si penutur untuk mengungkapkan makna dalam bentuk kata, sehingga kebenaran interpretasi, pemahaman dan pembacaan teks diukur dengan seberapa sesuai ia dengan maksud dan kehendak si penutur. Semakin dekat atau sesuai interpretasi itu dengan kehendak si penutur, semakin dekat pula ia kepada kebenaran. Sebaliknya, semakin interpretasi itu menjauhi kehendak si penutur, semakin jauh pula ia dari kebenaran.
Namun, apakah tidak ada celah dalam konsep yang dibangun al-Jurjani ini? Apakah selamanya petunjuk kata itu harus mengikuti dan sesuai dengan kehendak si penutur? Apakah setiap pemaknaan kita terhadap teks atau kata harus selalu mempertimbangkan maksud dan kehendak si penutur?
Sebenarnya dalam kajian ilmu balaghah sendiri, penutur tidak selamanya berkuasa atas bahasa, dalam artian makna kata tidak sepenuhnya berada dalam kendali si penutur. Hal ini karena watak dari bahasa itu sendiri yang bersifat kolektif. Power kolektifitas bahasa mengendalikan dan mengalahkan power kehendak si penutur.
Kolektifitas bahasa ini tidak hanya terdapat dalam kata tunggal, namun juga penyusunan kata dengan kata yang lain hingga ia menjadi kalimat yang sempurna. Hal ini terlihat dari pembagian ahli balaghah, dan juga logikawan, terhadap petunjuk kata secara koletkif (Dilalah al-Fadz al-Wadh’iyah).
Mereka membagi petunjuk kata ini ke dalam tiga bagian. Pertama,  petunjuk kata terhadap kesempurnaan maknanya (Muthabaqah). Kedua, petunjuk kata terhadap sebagian maknanya (Tadhammun). Ketiga, petunjuk kata terhadap makna luar yang menjadi keniscayaan dari makna dasarnya (Iltizam).
Ketiga dilalah ini, dalam pandangan ulama balaghah sendiri, khususnya Sa’ad al-Taftazani dalam al-Muthawwal, bersifat kolektif. Dan kita tahu bahwa tidak ada susunan bahasa baik hakikat, majas, tasybih, isti’arah dan yang lainnya, yang keluar dari tiga bagian dilalah ini. Itu artinya, kata majas pun harus tunduk terhadap kolektifitas bahasa. Penutur tidak sepenuhnya bebas menggubah kata-kata majas.
Kolektifitas dilalah kata ini menjadikan kehendak si penutur tidak bagitu penting dalam interpretasi dan pemaknaan. Petunjuk kata yang terucap tidak lagi mengikuti kehendak si penutur. Melainkan ia mengikuti kolektifitas bahasa itu sendiri. Artinya, tolak ukur kebenaran interpretasi bukan kesesuaiannya dengan kehendak si penutur, melainkan seberapa sesuai ia dengan makna yang diamini oleh kolektifitas bahasa.
Belum lagi kalau kita membicarakan pandangan Roland Barthes yang mengatakan bahwa tulisan adalah kuburan si penulis (lihat “The Death of Author”). Bagaimanakah sebenarnya hakikat relasi kata, makna dan kehendak menurut pembaca yang budiman?


                                                                                                                      Oleh : Rahmat Miskaya LC.

April 14, 2019

,

         Masih ingat kasus Ratna Serumpaet yang mengaku digebukin dan membuat kronologi penganiayaan yang dialaminya. Dari hoax-nya tersebut RS mampu membuat banyak masyarakat mengutuk kemalangan yang menimpanya, meneriakkan keadilan untuknya dan bersatu untuk membantunya. Namun, faktanya hanya operasi plastik.  Ini benar-benar konyol, atas nama kemanusiaan kita begitu cepat mempercayai pernyataan orang lain tanpa mengkaji informasi secara utuh. Hanya mendengarkan sebelah pihak saja, tentu sangat fatal.

          Sekarang kita kembali tercengang dengan kasus terbaru, seorang pelajar mengaku mendapat penganiayaan namun seluruh hasil visum mengatakan dia dalam keadaan baik-baik saja.  Lalu semakin banyak spekulasi lainya, bahwa korban melakukan visum setelah beberapa hari kejadian sehingga wajar saja kalau hasilnya begitu.  Spekulasi lain aparat  dan segenap lembaga disuap uang untuk membela para pelaku. Bermunculan begitu banyak cerita dan spekulasi namun kenyataannya sangat pahit, seluruh hasil visum mengatakan, dia dalam keadaan baik-baik saja, kecuali tentang mentalnya, dan ini masih diteliti oleh para ahli yang mendampinginya.

           Korban adalah sosok yang polos dan tidak tau apa-apa namun dikeroyok. Ini tentu menggugah simpati masyarakat. Namun, kenyataanya dia memang terlibat sindir menyindir di sosial media. Setelah diteliti lebih dalam lagi korban juga memiliki akun sosial dimana masuk pada kesimpulan dia bukan anak yang polos seperti yang di deskripsikan media.  Dengan gaya gaul dan hitsnya di sosial media, foto ala selebgram dengan baju sexy dan sharing video konten dewasa yang sebenarnya tidak layak untuk dishare. Namun, keluarga mengatakan akunnya dihack dan seluruh foto maupun postingan yang tidak lazim telah dihapus. Padahal beberapa postingan dan foto juga di postingan sebelum masalah ini muncul kepublik. Namun, sudahlah jika memang itu klarifikasi dari orang tua korban.

          Sampai disini kita bukan mempermasalahkan kenakalan korban, bukan itu yang ingin saya sampaikan disini, tapi yang ingin saya sampaikan kita sempat tidak adil memahami situasi ini. Kita sempat melupakan teori sebab akibat. Kita hanya fokus mengadili para pelaku sementara kita tidak berada ditempat.  Kita belum memfilter dengan benar apakah seluruh cerita yang disampaikan itu real atau tidak.  Kita belum memiliki bukti kuat, tapi terlalu cepat memovonis para pelaku.  Inilah letak kesalahan kita sebagai orang dewasa. Harusnya kita lebih bijak dan bersabar mencari akar permasalahnya.

        Judul berita di media sangat tendensius dua belas pelajar SMA mengeroyok satu pelajar SMP.  Hati mana yang tidak remuk membacanya. Para netizen yang mebaca berita tersebut, juga teman-teman saya begitu gencar disosmed agar berita ini segera sampai ke presiden dan mendapat keadilan. Bahkan ketika saya baca di kolom komentar berita, para netizen pun mendoakan yang tidak-tidak pada dua belas pelaku tersebut. Namun, kenyataanya dua belas pelajar itu tidak semuanya terlibat, hanya tiga saja yang menjadi pelaku yang lain hanya menonton. Bahkan satu orang tidak berada di tempat kejadian namun diduga menjadi sumber percekcokan. Selain itu, yang tidak berada ditempat juga ikut menjadi sasaran bullyng masyarakat dan fotonya disebarkan kemana-mana.  Kita sangat emosional menyikapi persoalan ini sampai kita tidak sadar kita semua juga telah menjadi pelaku bullying.  

         Sungguh kita harus menyatukan suara untuk menentang bullying dan menghindari prilaku bullying tersebut agar tidak dicontoh oleh generasi muda kita. Kasus pelajar SMP tersebut harus tetap bergulir sesuai prosedur hukum dan keadilan harus ada untuknya jika memang ada penganiayaan walau tidak terjadi pencolokan alat vital seperti kelarifikasi beberapa media. Walau tubuhnya tidak biru lebam, dia tetap harus mendapatkan keadilan bila tiga pelaku menyentuh tubuhnya.  Namun mungkin kita harus mengerem lidah dan jari kita agar tidak menggebu-gebu sebagai hakim. 

         Korban dan pelaku butuh dampingan psikolog. Belakangan sudah tersebar foto pelaku dengan korban, dari foto tersebut mereka akrab artinya sudah saling mengenal. Pelaku juga mengatakan bahwa orang tua pelaku pernah meminjam uang kepada korban dan sudah dilunasi namun korban selalu mengungkit dan menyindir. Disini butuh proses panjang untuk para ahli hukum dan psikolog anak untuk menemukan akar permasalahanya.

            Permasalahan lain yang kita lupakan yaitu mempertanyakan peran orang tua dalam mengontrol anak-anaknya. Baik itu orang tua korban maupun pelaku. Bagaimana mungkin orang tua korban tidak mengetahui anaknya mengalami penganiayaan berat seperti cerita versi anaknya, dan bagaimana bisa orang tua para pelaku tidak memberi hukuman kepada anak-anaknya atas kenakalanya, membiarkan anak masih eksis disosial media, membuat video dikantor polisi, dan memaki sana sini melawan netizen; artinya kontrol orang tua  hilang dan ini bisa jadi salah satu permasalahan yang mungkin akan digali lagi oleh para ahli.

         Meskipun begitu saya tidak menyesal atas kentataan tersebut, saya tetap mendukung keadilan untuk anak SMP tersebut. Namun, saya juga tidak mau menghakimi para pelaku, karena mereka juga harus dibina. Kasus ini tamparan besar untuk para orang tua.  Di rumah, anak terlihat polos bukan lantas kita tidak mengawal akun sosial medianya dan membiarkan dia dengan bebas pergi keluar rumah bersama orang asing walau itu temanya sendiri.  Untuk anak dibawah umur bermain sosial media adalah toksin karena tidak semua anak mampu memfilter mana yang baik dan buruk kecuali memang mendapat bimbingan dari orang tua. Anak dibawah umur juga masih butuh perlakukan protektiv dari orang tua agar tidak keluyuran, karena zaman sekarang tindak kriminalitas sangat rentan menimpa anak dibawah umur.



                                                                                                          oleh : Abdul Majid Washil al-Asy'ary

April 11, 2019

,
Keramat Abu al-Barakat; Imam Ahmad Dardir 
Abu al-Barakat adalah laqab atau panggilan umum yang disandangkan kepada Imam Ahmad Dardir (1127-1201 H). Beliau tidak sekedar dikenal sebagai orang Alim, melainkan juga al-Alim ar-Robbani yang dianugerahkan ilmu dhahir dan batin. Hal itu dikarenakan sanad keilmuan beliau dikenal jelas dan terhubung langsung kepada cahaya baginda Rasulullah Saw.
Sementara itu, aliran fikih Imam Dardir yaitu Malikiyah. Hal ini ditandai keluasaan beliau terhadap penguasaan madzhab Maliki sehingga memperoleh sematan Malikiyah al-Syaghir (Maliki kecil) dari para pengikutnya. Di samping juga karya-karyanya, terutama dalam bidang fikih Maliki, yang banyak dikonsumsi para pelajar hingga abad modern ini, seperti Syarah Mukhtasar Khalil, Aqrabul Masalik li Madzhab al-Imam Malik dan lain sebagainya.
Di pesantren dulu, karya Imam Dardir yang menjadi kajian menarik adalah kitab Isra Mikraj. Kitab ini merupakan kajian tahunan yang dibaca setiap malam Isra Mikraj mulai dari pengantar (muqaddimah) sampai selesai, yakni dimulai selesai salat Isyak sampai khatam.
Konon, ada kisah inspiratif yang populer ditelinga para pelajar, termasuk sebagian kalangan masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) tentang Imam Dardir bersama gurunya, Syeh Ali as-Soidi. Semenjak menjadi pelajar, sang guru telah mengetahui potensi Imam Dardir yang tersambung dengan baginda Rasulullah saw. Karenanya, sang guru mengirimkan pesan “Salam” melalui Imam Dardir agar disampai kepada baginda Rasul. Usai disampaikan, Rasulullah menjawab salam Ali  as-Soidi seraya menambahkan, “Kenapa dia (Ali As-Soidi) tidak mengunjungi saya ke Madinah”. Tanyanya.
Pesan Rasul ini kemudian disampaikan lagi kepada sang guru dan dengan seketika, beliau (Ali As-Soidi) menangis deras hingga akhirnya menjawab, “Wahai Dardir ! Mohon sampaikan salam saya kepada Rasulullah bahwa saya tidak mampu mengunjungi beliau di Madinah”.
Sebagai mediator yang amanah, Imam Dardir menghantarkan salam sang guru kepada Rasulullah dan Rasul pun menjawab, “Apabila dia (Ali As-Soidi) ingin mengunjungi saya, maka temuilah saya di makam (Imam) Syafii setiap hari Jum’at setelah ashar sampai fajar hari sabtu”.
Demikian komunikasi ahli makrifat, guru dan murid sama-sama Alim robbani dan terkoneksi dengan baginda Rasulullah Saw. Demikian pula jiwa dan raga mereka senantiasa tersambung dengan baginda Rasulullah Saw.
Karenanya, Habib Umar bin hafidz pernah berpesan agar kita senantiasa bergaul dan memandang orang-orang saleh supaya kelak kita dibangkitkan bersama mereka hingga puncaknya, kita dapat memandang wajah terindah, yaitu cahaya baginda Rasulullah Saw”.
Sekian semoga bermanfaat !
_____
Kisah di atas diperoleh dari sambutan Syeh Emad Khotib Masjid Abul Barakat, Imam Ahmad Dardir pada acara Haul Imam Dardir.  



                                                                                              oleh : Muchtar Makin Yahya

April 07, 2019

,

Yang Lebih Buruk dari Kegagalan

(Zis Al-Hakim)(1)


Pernahkah kawan-kawan merasa sangat semangat dan pada suatu waktu  merasa berada dititik terendah tanpa gairah? atau bercita-cita setinggi langit kemudian di saat yang lain membuangnya kepaling dasar bumi? atau berkeinginan berubah namun kemudian menyerah sebab perubahan sepertinya tidak pernah menunjukkan batang hidungnya?
Oke, saya anggap pernah, agar kita bisa lanjutkan pembahasan. Perasaan atau segala yang berkaitan dengan hati memang identik dengan  perubahan. Iman contohnya, ia naik-turun; naik dengan ketaatan, dan turun sebab melakukan keburukan-keburukan.
Jika kita sedang dianugerahkan melakukan kebaikan, jangan pernah berfikir bahwa kita tidak akan terjerumus pada lembah kehancuran. Begitupula saat kita terjerembab melakukan kesalahan jangan pernah memiliki  keyakinan bahwa kita tidak akan bisa memperbaikinya. Dua sikap inilah yang kemudian dalam terma Tasawuf dikenal dengan Khauf  (rasa khawatir) dan Raja’ (rasa harap). Dua sikap yang memungkinkan setiap orang akan bisa senantiasa  berjalan untuk melakukan dan melanjutkan  perjuangan bagaimanapun keadaannya. Mereka akan seimbang dalam keadaan kalah atau menang, dalam keadaan  puncak semangat  atau dititik terhampa keputusasaan.
Jika kawan-kawan pernah mengalami ketertinggalan dalam proses study jangan pernah berkeyakinan bahwa kawan-kawan tidak mungkin lagi  menjadi seorang yang berprestasi. Kawan-kawan masih sama-sama memiliki kesempatan yang sama, masih punya waktu untuk memperbaiki, masih bisa berusaha dengan yang lebih baik lagi. Sampai kapan? Sampai kesempatan itu tidak ada lagi, sampai -bahasa kasarnya- kita tidak bernyawa lagi.
Terkait hal ini, Ibnu Arabi pernah berpesan: “Ingatlah ! jangan pernah  kamu meninggalkan kesungguhan meskipun setelahnya kamu tidak melihat reaksi baik dari kesungguhanmu”
Kita barangkali akan sepintas menentang “ah,  buat apa sungguh-sungguh kalau hasilnya juga kayak gitu, aku rasib (ninggal kelas) lagi”. Tidak begitu kawan, ini adalah cara pandang yang kurang benar. Bukankah dalam suatu hadis Nabi memberikan motivasi “Jika matahari terbit dari arah barat dan ditanganmu ada biji kurma, maka tanamlah..” Saat yang sangat genting bukan? Tapi nabi masih memberikan motivasi agar kita memaksimalkan apa yang kita miliki untuk kita perbuat dalam urusan dunia, lalu bagaimana dengan urusan ilmu? Apakah kita tidak ingin memaksimalkan kesempatan yang kita miliki saat ini.
Dalam sebuah kesempatan, Syaikh Ma’bad Abdul Karim yang oleh Syaikh Usamah dalam kitab Asanid Al-Mishriyyin disebut sebagai Gurunya para ahli hadis di Mesir masa kini menyampaikan: “Para ulama terdahulu memang hebat, kita harus mengakuinya, tapi ingat kita juga bukan tidak apa-apanya.” Iya, kita memang tidak sebaik teman-teman lain yang lancar dalam study mereka, kita tidak seaktif organisator yang cakap dalam komunikasi atau luas dalam relasi dan juga tidak secekat para santri cemerlang yang mudah faham dan hafal semua pembahasan dikitab-kitab, tapi ingat!! kita juga bukan tidak apa-apanya.
Ada solusi menarik yang ingin saya tawarkan jika anda pernah merasakan pertanyaan-pertanyaan diatas, yaitu petuah  Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya yang berbunyi: “Tempatmu adalah sebagaimana Allah telah menempatkanmu”. Artinya, jika Allah menjadikan kita saat ini sebagai  pedagang maka seriuslah berdagang, kalau sebagai petani maka semangatlah bertani, dan jika kita menjadi pelajar maka bersungguh-sungguhlah dalam belajar.
Terakhir saya ingin menuliskan ungkpan menarik dari Ust. Zaiemuddin Abdul Adzim, salah seorang Mahasiswa terbaik pada masanya: “Yang lebih buruk dari kegagalan adalah berakarnya keyakinan bahwa tidak perlu lagi berjuang” benar, sebab kegagalan sejati adalah saat kita memutuskan untuk lalu berhenti.

(1) Nama Pena dari Zis Ahmad Zainal Abidin, Mahasiswa Al-Azhar. Fakkultas Dirasat Islamiyah Wal-Arabiyah.


                                                                                                                Oleh : Ziz Ahmad Zainal Abidin

April 04, 2019

,
Mengapa Isra' dan Mi'raj?

Peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah serangkaian peristiwa agung yang terjadi kepada nabi Muhammad Saw. Para pemikir Islam sepakat kebenaran adanya, kendati mereka bersilang pendapat, kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.

Para pemikir timur dan barat beradu pacu memberi tafsir bagaimana Nabi diisra'kan? Di kalangan pemikir timur hampir menemui kata sepakat bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj bagian dari mukjizat yang Allah kehendaki kepada Rasul-Nya. Tanpa meninggalkan pertanyaan bagaimana detailnya, karena mereka berangkat dari yang namanya iman. Sebagaimana jawaban Abu Bakar saat ditanya oleh orang kafir Quraish. Abu Bakar berkata, "Jika ia (Muhammad) yang berkata, saya percaya." Menurut hemat penulis jalan ini (iman) lebih mudah diterima dan berdamai dengan jiwa mukmin, dari pada harus mempersoalkan bagaimana dan mengapa.
Jalan ini berbeda dengan pemikir barat yang cenderung observatif menanggapi peristiwa agung itu. Berangkat dari teori-teori ilmiah yang mereka tuhankan, bertanya tentang keabsahannya. Bagaimana mungkin Muhammad mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan jauh melampaui kecepatan cahaya? Bagaimana ia mampu menembus gravitasi bumi? Ini sekilas pertanyaan yang diketengahkan oleh pemikir barat. Rasanya amat sulit menyelaraskan dan mengambil kesimpulan dari peristiwa yang domainnya adalah kuasa Tuhan dengan bertumpu pada teori-teori ilmiah yang bersandar pada penelitian yang berulang. Sedangkan Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali. Sehingga jalan keluar yang dihidangkan oleh sementara pemikir, jangan bertanya bagaimana Israj dan Mijraj, namun mengapa Isra' dan Mi'raj?

Berangkat dari pertanyaan kedua, saya mencoba menguraikan di sini.  Isra' dan Mi'raj terjadi setelah Nabi kembali dari Thaif. Lawatan misi dakwah kali ini sangat menguras psikis Nabi. Intimidasi yang dilakukan penduduk Thaif menyisakan pengaruh besar pada jiwa Nabi. Ia menduga kegagalan dakwah akibat kesalahannya yang membuat Tuhan tidak senang kepadanya. Di sini tampak sekali sisi kemanusiaan Nabi  sebagai utusan Allah. Merasa sedih akibat langkah-langkahnya menemui kegagalan. Di saat itulah perlu ada sandaran mampu membangkitkan kembali kaki-kaki yang lemah untuk melanjutkan langkah menggapai asa. Sifat kemanusian yang tampak ini menjadi simbol agung atas penghambaan seorang hamba di hadapan tuhannya. Tiap kali seorang hamba lemah tidak berdaya selalu butuh kepada Sang Tuan, Allah.

Keadaan yang menimpa Nabi diharapkan menjadi catatan bagi umatnya yang datang setelahnya mengganti posisi beliau sebagai penyampai risalah bahwa mereka akan menemui kesulitan-kesulitan sebagai ujian atas kesungguhan dakwahnya. Dai yang benar-benar berkhidmat kepada Agama. Bukan sebaliknya, Agama yang berkhidmat kepadanya. Agama menjadi alat untuk meraih hasrat-hasrat dunia. Wal 'Iyādzu Billah.

Isra' dan Mijra' inilah yang menjadi kehendak Allah untuk menjawab 'prasangka' kekasih-Nya. Allah tidak berkehendak meninggalkan kekasih-Nya 'terluka'. Allah perintahkan Jibril untuk menemani nabi Muhammad dalam perjalanan menemui-Nya. Pertemuan ini menjadi energi baru untuk melanjutkan risalah Allah kepada seluruh alam semesta.

                                                                                                               

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Oleh : Abdurrahman

April 02, 2019

,
"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Follow Us @soratemplates