Oleh; Ismail Adnan, Lc
Seiring dengan
bergantinya zaman, jumlah dai di negeri tercinta terus bertambah dan bertebaran
dimana-mana, tentunya dengan kapasitas ilmu yang berbeda. Ketika diamati,
ternyata status dai lumayan digandrugi
dan banyak peminatnya, yang terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat. Terkadang mereka tidak peduli dengan ilmu
yang dimiliki, apakah masih dangkal atau tidak, yang penting menjadi dai.
Banyak alasan yang diungkapkan terkait ketertarikan mereka menggeluti
profesi dai. Mulai dari hadis nabi yang
berbunyi: Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Hingga alasan bahwa profesi
tersebut adalah perbuatan terpuji dimata Allah, dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Diakui atau tidak,
bahwa seorang dai rata-rata mempunyai pengikut/penggemar, sekalipun sedikit,
dan tidak jarang sebagian dari
penggemarnya yang fanatik. Berangkat dari itu semua, perlu kiranya bagi yang
berniat terjun ke medan dakwah agar terlebih dahulu mendalami ilmu agama,
setidaknya untuk menekan dan mengurangi kerusakan yang terjadi di masyarakat.
Jika sosok-sosok yang pakar masih cukup untuk mengisi ruang dengar umat Islam,
jadi yang dangkal ilmunya diharapkan minggir dulu. Jika sidangkal (pen-dai yang
kapasistas ilmunya kurang mumpuni) memaksa terjun untuk berdakwah dengan alasan
tertentu, maka terlebih dahulu memperjelas sanad ilmu yang di dapat. Karena
ketika ada yang bermasalah biar langsung dirujuk, minimal pada karya-karya
gurunya. Tapi kalau sanadnya hanya bersambung sama mbah google, maka jangan
dipaksakan untuk terjun ke ranah dakwah jika tidak ingin kerusakan terus
bertambah.
Mungkin kita
sama-sama tahu bahwa tidak semua dai
mempunyai niat tulus untuk menuntun ke jalan Allah. Pastinya, ada sebagian dari mereka yang tujuanya untuk
memperkaya diri, atau motif lainnya yang tidak terpuji. Asumsi ini menemukan
pembenaran ketika ada fakta lapangan yang menampakkan dai marah-marah karena
uang yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan dan harapan. Ada juga yang
tidak marah meski merasa kecewa. Tapi ia memberi tanda mirah bagi pihak yang
mengundang jika uang yang diberikan kepadanya tidak sesuai harapan alias
sedikit.
Para dai yang tidak
ikhlas menuntun, penulis yakini tidak akan pernah membawa kebaikan, meski
kalimat dan bahasa yang sering disampaikan dalam majlis-majlis benar adanya.
Karena bahasa yang hanya sebatas lisan sulit untuk tembus ke hati, apalagi
diikuti. Alih-alih mengharapkan kebaikan dari mereka, malah terkadang
sifat-sifat tidak terpuji dipertontonkan: seperti mempermalukan orang lain di
depan publik, atau mengeluarkan statemen dan bahasa kotor di tengah-tengah
masyarakat.
Mungkin di antara yang perlu diperhatikan oleh para
dai adalah bahwa orang-orang masa kini berbeda dengan dulu. Mungkin karena
mereka terpelajar sehingga mudah peka dan krtitis dengan keadaan sekitar. Jadi
para dai perlu lebih waspada, sebagai penyambung lisan nabi. Jangan sampai
orang beranggapan bahwa sifat tidak terpujinya sang dai adalah cerminan dari agamanya.
Beberapa bulan lalu terjadi pembunuhan redaktur “Charlie
Hebdo” di Paris. Kejadian ini katanya bermula dari ulah redaktur yang sering
memuat karikatur nabi, sehingga memancing kemarahan umat Islam di berbagai
belahan bumi. Kecaman, ancaman dan teror dilancarkan untuk menghentikan tindakan
provokatif tersebut. Ketika teguran sudah tidak diindahkan, maka sebagian
kelompok umat Islam ada yang nekat melakukan menyerangan yang mengakibatkan
terbunuhnya 12 orang, termasuk karikaturis. Selang beberapa hari kemudian
kartun serupa muncul kembali.
Bisa saja inisiatif
pembuatan karikatur nabi muncul karena ulah sebagian umat Islam itu sendiri.
Seperti menebarkan terror, menciptakan kerusakan, dan mengusik ketengan orang
lain . Tidak semuanya non-muslim belajar sejarah Islam. Bagi yang tidak membaca
sejarah Islam tentunya mereka akan melihat apa itu Islam dengan melihat prilaku
umat Islam yang ia tau.
Kejadian di Paris
penulis rasa tidak lepas dari peran seorang dai. Tidak mungkin orang awam
bergerak sendiri tanpa ada yang menggerakkan. Jika mereka tau perbuataannya
tidak baik, tentu mereka tidak akan
pernah melakukannya, apalagi perbuatan tersebut sangat berbahaya. Siapa lagi
yang akan memberi tau mereka tentang baik dan buruk dalam agama, jika bukan dari
seseorang yang dijadikan rujukan dalam beragama, atau bisa disebut tokoh
agama/dai.
Bagi penulis apapun motif Charlie Hebdo,
pembunuhan tidak bisa dibenarkan! Balas pena dengan pena, bukan dengan
senjata!!
Untuk zaman
sekarang, rasanya kurang komplet jika seorang dai hanya pandai bicara di
podium-podium saja. Seharusnya mereka juga pandai merangkai kalimat dalam
bentuk tulisan untuk kemudian dipublikasikan di berbagai media. Jika tidak,
maka media elektronik, khususnya, yang merupakan persinggahan mayoritas umat
dari berbagai latarbelakang hanya akan terisi oleh tulisan-tulisan sampah yang
kering akan ilmu pengetahuan agama.
Tanggungjawab
seorang dai kian hari bertambah berat. Banyak PR yang harus diselesaikan.
Mungkin hal ini yang mebuat teman saya, Ust. Shalehuddin Pawel al-Zumar tidak
buru-buru pulang meski tugas kuliah sudah rampung beberapa puluh tahun lalu.
Hampir setiap hari beliau menjadi pemulung buku, hingga buku beliau mencapai
puluhan karton dalam berbagai disiplin ilmu. Setiap hari, kurang lebih sepuluh
jam dihabiskan hanya untuk membaca dan mengasah ilmunya. Mungkin yang terselip
dalam benak belau, bagaimana caranya agar dirinya kelak bisa menjadi dai
oplosan, yang mampu mengoplos tradisi, agama dll, dalam satu wadah kehidupan,
tanpa harus mereduksi agama yang bersifat rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusOke..sip ilmunya
BalasHapus