April 15, 2015

Tantangan Bagi Seorang Dai


Oleh; Ismail Adnan, Lc

Seiring dengan bergantinya zaman, jumlah dai di negeri tercinta terus bertambah dan bertebaran dimana-mana, tentunya dengan kapasitas ilmu yang berbeda. Ketika diamati, ternyata  status dai lumayan digandrugi dan banyak peminatnya, yang terdiri dari  berbagai lapisan masyarakat. Terkadang mereka tidak peduli dengan ilmu yang dimiliki, apakah masih dangkal atau tidak, yang penting menjadi dai. Banyak alasan yang diungkapkan terkait ketertarikan mereka menggeluti profesi  dai. Mulai dari hadis nabi yang berbunyi: Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Hingga alasan bahwa profesi tersebut adalah perbuatan terpuji dimata Allah, dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Diakui atau tidak, bahwa seorang dai rata-rata mempunyai pengikut/penggemar, sekalipun sedikit, dan tidak jarang  sebagian dari penggemarnya yang fanatik. Berangkat dari itu semua, perlu kiranya bagi yang berniat terjun ke medan dakwah agar terlebih dahulu mendalami ilmu agama, setidaknya untuk menekan dan mengurangi kerusakan yang terjadi di masyarakat. Jika sosok-sosok yang pakar masih cukup untuk mengisi ruang dengar umat Islam, jadi yang dangkal ilmunya diharapkan minggir dulu. Jika sidangkal (pen-dai yang kapasistas ilmunya kurang mumpuni) memaksa terjun untuk berdakwah dengan alasan tertentu, maka terlebih dahulu memperjelas sanad ilmu yang di dapat. Karena ketika ada yang bermasalah biar langsung dirujuk, minimal pada karya-karya gurunya. Tapi kalau sanadnya hanya bersambung sama mbah google, maka jangan dipaksakan untuk terjun ke ranah dakwah jika tidak ingin kerusakan terus bertambah.

Mungkin kita sama-sama tahu bahwa tidak semua dai  mempunyai niat tulus untuk menuntun ke jalan Allah. Pastinya, ada  sebagian dari mereka yang tujuanya untuk memperkaya diri, atau motif lainnya yang tidak terpuji. Asumsi ini menemukan pembenaran ketika ada fakta lapangan yang menampakkan dai marah-marah karena uang yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan dan harapan. Ada juga yang tidak marah meski merasa kecewa. Tapi ia memberi tanda mirah bagi pihak yang mengundang jika uang yang diberikan kepadanya tidak sesuai harapan alias sedikit.

Para dai yang tidak ikhlas menuntun, penulis yakini tidak akan pernah membawa kebaikan, meski kalimat dan bahasa yang sering disampaikan dalam majlis-majlis benar adanya. Karena bahasa yang hanya sebatas lisan sulit untuk tembus ke hati, apalagi diikuti. Alih-alih mengharapkan kebaikan dari mereka, malah terkadang sifat-sifat tidak terpuji dipertontonkan: seperti mempermalukan orang lain di depan publik, atau mengeluarkan statemen dan bahasa kotor di tengah-tengah masyarakat.

Mungkin  di antara yang perlu diperhatikan oleh para dai adalah bahwa orang-orang masa kini berbeda dengan dulu. Mungkin karena mereka terpelajar sehingga mudah peka dan krtitis dengan keadaan sekitar. Jadi para dai perlu lebih waspada, sebagai penyambung lisan nabi. Jangan sampai orang beranggapan bahwa sifat tidak terpujinya sang dai adalah cerminan  dari agamanya.

Beberapa bulan  lalu terjadi pembunuhan redaktur “Charlie Hebdo” di Paris. Kejadian ini katanya bermula dari ulah redaktur yang sering memuat karikatur nabi, sehingga memancing kemarahan umat Islam di berbagai belahan bumi. Kecaman, ancaman dan teror dilancarkan untuk menghentikan tindakan provokatif tersebut. Ketika teguran sudah tidak diindahkan, maka sebagian kelompok umat Islam ada yang nekat melakukan menyerangan yang mengakibatkan terbunuhnya 12 orang, termasuk karikaturis. Selang beberapa hari kemudian kartun serupa muncul kembali.

Bisa saja inisiatif pembuatan karikatur nabi muncul karena ulah sebagian umat Islam itu sendiri. Seperti menebarkan terror, menciptakan kerusakan, dan mengusik ketengan orang lain . Tidak semuanya non-muslim belajar sejarah Islam. Bagi yang tidak membaca sejarah Islam tentunya mereka akan melihat apa itu Islam dengan melihat prilaku umat Islam yang ia tau.
Kejadian di Paris penulis rasa  tidak lepas dari  peran seorang dai. Tidak mungkin orang awam bergerak sendiri tanpa ada yang menggerakkan. Jika mereka tau perbuataannya tidak  baik, tentu mereka tidak akan pernah melakukannya, apalagi perbuatan tersebut sangat berbahaya. Siapa lagi yang akan memberi tau mereka tentang baik dan buruk dalam agama, jika bukan dari seseorang yang dijadikan rujukan dalam beragama, atau bisa disebut tokoh agama/dai.

Bagi penulis apapun motif Charlie Hebdo, pembunuhan tidak bisa dibenarkan! Balas pena dengan pena, bukan dengan senjata!!
Untuk zaman sekarang, rasanya kurang komplet jika seorang dai hanya pandai bicara di podium-podium saja. Seharusnya mereka juga pandai merangkai kalimat dalam bentuk tulisan untuk kemudian dipublikasikan di berbagai media. Jika tidak, maka media elektronik, khususnya, yang merupakan persinggahan mayoritas umat dari berbagai latarbelakang hanya akan terisi oleh tulisan-tulisan sampah yang kering akan ilmu pengetahuan agama.


Tanggungjawab seorang dai kian hari bertambah berat. Banyak PR yang harus diselesaikan. Mungkin hal ini yang mebuat teman saya, Ust. Shalehuddin Pawel al-Zumar tidak buru-buru pulang meski tugas kuliah sudah rampung beberapa puluh tahun lalu. Hampir setiap hari beliau menjadi pemulung buku, hingga buku beliau mencapai puluhan karton dalam berbagai disiplin ilmu. Setiap hari, kurang lebih sepuluh jam dihabiskan hanya untuk membaca dan mengasah ilmunya. Mungkin yang terselip dalam benak belau, bagaimana caranya agar dirinya kelak bisa menjadi dai oplosan, yang mampu mengoplos tradisi, agama dll, dalam satu wadah kehidupan, tanpa harus mereduksi agama yang bersifat rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam.

3 komentar:

Follow Us @soratemplates