April 19, 2015

Belajar Dari Kemacetan Lalulintas di Daerah Tabah


Oleh; Ismail Adnan

Pada hari Ahad 23 November  2014, pemerintah Mesir secara resmi merevisi undang-undang lalulintas nomer 76 tahun 1973 dengan undang-undang baru nomer  142 tahun 2014. Banyak poin menarik  yangterdapat dalam undang-undang baru tersebut, di antaranya jika mengendarai kendaraan  di luar atau di dalam kota  pada jalur berlawananakan dikenai sangsi kurungan tahanan minimal satu tahun. Poin ini kenapa saya katakana menarik, karena meski  sudah hampir satu tahun diperundang-undangkan, tapi tetap saja pemandangan lalulintas sebagaimana kita ketahui. Lampu lalulintas sudah dipancangkan dimana-mana tapi masih jarang sekali dipergunakan sebagaimana mestinya. Mungkin karena masih proses atau dalam tahap percobaan sehingga bisa dimaklumi jika lampu lalulintas tidak terpakai secara maksimal, cuma kadang-kadang dan sangat jarang sekali. Penulis di sini berbicara perihal lalulintas dalam konteks Kairo. Karena pada kenyataannya di sebagian daerah, pengguna jalur lalulintas bisa dikatakan taat undang-undang/lampu lalulintas  seperti halnya daerah Ismailiyah.

Penulis tidak bermaksud untuk berbicara panjang lebar terkait semrawutnya lalulintas di Kairo, tapi penulis tertarik untuk menulis ketika kemarin pas berkunjung ke rumah teman di Tabah. Melihat kemacetan panjang di sana membuat penulis ingin tau, kenapa kemacetan bisa mengular ratusan miter. Ternyata setelah diamati penyebabnya cuma karena di belokan ada satu bus yang terjebak, sehingga mau tidak mau harus melintang  di badan jalan. Keadaan tersebut terus berlangsung  kira-kira setengah jaman dan bisa berjalan lancar hingga ada orang yang turun tangan untuk mengatur lalulintas.

Kemacetan panjang ini terjadi hanya karena titik sentral jalan terganggu, itupun cuma sebab satu kendaraan. Kejadian ini bisa kita tarik dan kita kaitkan  ke ranah organisasi lokal atau pemerintahan. Misalnya organisasi pemerintahan di negeri kita yang sejak runtuhnya rezim orde baru menggunakan sistem pemerintahan dengan asas desentralisasi. Jadi titik penting sejak berubahnya ke sistem ini tambah banyak, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, seperti gubenur,  bupati, wali kota  dan seterusnya. Mereka sama-sama menjadi penentu kemajuan sebuah bangsa. Mereka juga sama-sama diberikan kewenangan dalam mengambil kebijakan dalam pemerintahan yang dinaunginya. Jika pemerintah pusat tidak amanah dan tidak layak menjadi pemimpin (tersumbat), maka bangsa akan hancur. Bila pemerintah daerah tersumbat alias korupsi dan menyalahgunakan wewenang,  maka hancurlah rakyat yang berada di bawah naungan pemerintahannya. Hancur yang penulis maksud disini bisa saja diartikan sengsara atau tidak sejahtera, dan bisa juga diartikan dengan semacamnya. Mengapa demikian, karena mereka sama-sama berada di titik penting meski lingkup kewenangannya berbeda, sebagaimana kemacetan tadi yang disebabkan tersumbatnya titik sentralnnya sehingga aliran lalulitas tidak bisa berjalan normal.

Pun demikian, kemacetan tadi juga bisa dikaitkan dengan urusan rumahtangga. Dimana dalam sebuah biduk rumahtangga tentunya terdapat kepala yang merupakan titik penting yang harus bisa dijadikan contoh. Jika kepala rumahtangga bermasalah maka istri dan  anak akan terkena imbasnya. Wallau a’lam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates