,
Episode 2
Bersama rombongan pasukan Islam yang dipimpin Qais mereka
diantarkan pulang. Ditengah perjalan, tibalah waktu dzuhur. Mereka beristirahat
sejenak untuk melaksanakan shalat dzuhur yang dipimpin oleh pemimpin pasukan.
“Allahu Akbar” suara takbir menggema,
menyentak keras perasaan Maria yang sedang memerhatikan mereka, bergetar
hatinya mendengar gemaan takbir yang dilantukkan setiap kali pindah gerakan.
Entah apa yang dirasakannya saat itu, yang jelas kalimat itu mampu membuat
hatinya tertegun sekaligus terombang-ambing perasaan tak menentu.
“ Apa yang mereka ucapkan itu, dan kembali diucapkan setiap pindah
gerakan? “ tanyanya kemudian terhadap pendeta Syata yang berada didekatnya, yang
juga sebagai tahanan.
Diluar dugaan, dengan penuh kejujuran pendeta non Muslim ini
menjelaskan:
“ itu adalah kalimat untuk memulai ibadah mereka yang disebut
Shalat. Seolah-olah dengan kalimat itu mereka menegaskan pada masa bahwa mereka
tidak sedang berada di masa tersebut dan tidak sedang berada di dunia, seolah mereka
mengatakan bahwa mereka sedang berada di hadapan Dzat yang lebih besar dari
segala Wujud. Ketika mereka menyatakan kepergian mereka pada waktu, berikut
konflik dan syahwat yang ada di dalamnya, berarti mereka telah memasuki ibadah
(Shalat) mereka. Seolah-olah mereka menghapuskan dunia ini dari diri mereka
untuk sesaat atau beberapa saat. Caranya dengan mentransendensikan diri mereka
atasnya. Perhatikan, bukankah engkau menyaksikan bagaimana kalimat tersebut
telah menyihir mereka. Dalam shalat, mereka tidak menoleh pada apapun, mereka
begitu tenang, mereka berubah dari kondisi sebelumnya. Mereka sangat khusyu`,
seperti khusyuknya para filosof besar saat termenung.”
“sungguh indah filosofi kalimat itu. Buku-buku dan teori-teori
telah kelelahan untuk membuat penduduk bumi
merasakan ketenangan dari Pencipta semesta, namun kemudian datanglah
Gereja-gereja sebagai tempat ibadah, yang katanya untuk mensaranai orang-orang
yang butuh ketenangan menghadap Tuhan. Tempat yang dipenuhi patung-patung dan
gambar-gambar sebagai media untuk menyampaikan wahyu-wahyu Tuhan agar merasakan
ketenangan dengan doktriin yang dikamuflase. Dengan itu mereka melakukan misi
demi keuntungan pribadi. Layaknya dia seorang yang memberi arak pada engkau
yang telah dibuat candu. Jika dia tidak memberimu arak, maka kau akan merasakan
sensasi diatas fantasi. Seperti itulah mereka membungkus kelezatan dengan
nikmat yang mematikan. Lalu siapa yang bisa membawa gerejanya (tempat ibadah)
kemana-mana seperti halnya mereka orang-orang islam yang bahkan diatas keledai
dan kuda mereka?”. Ungkap Maria dengan penuh kekaguman sambil memerhatikan
gerakan shalat pasukan muslimin di depannya.
“ Engkau benar, Maria..” tanggap sang puteri, Armanusya.
“ Gereja tak lain seperti sebuah taman bunga yang dibuat di suatu
tempat. Keindahannya terbatas tempat. Dan menikmatinya juga harus bertempat.
Sungguh nyaris tidak bisa di dapatkan Wahyu dan Tuhan kecuali di tempat itu.
Gereja hanyalah gedung persegi yang mempunyai empat sisi tembok. Sedangkan
mereka orang islam bahkan di empat penujuru arah dia bisa beribadah, merasakan
ketenangan dan menemukan Tuhannya” ungkapnya dengan penuh ketulusan.
“ dan ketika mereka sedang
shalat, dan pada saat itu dunia telah ditaklukkan lalu mereka tergiur dan condong terhadapnya, maka
sejatinya eksistensi dari shalat pada waktu itu tidak lagi mereka dapatkan “
pendeta Syata yang berada di sampingnya menjelaskan.
“ apakah mereka akan menaklukan dunia?” tanya Maria penasaran.
“ bagaimana Dunia tidak akan ditaklukkan, sedangkan mereka datang
bukan untuk memerangi dan bukan karena urusan duniawi. Mereka datang untuk
memerangi segala macam kedzaliman dan kesesatan. Mereka datang dari padang
pasir yang gersang dengan watak dan fisik yang kuat seperti badai topan yang
teguh tegak dalam tinggi panjangnya “. Jawab sang pendeta.
“Demi Tuhan, lagi-lagi kita bertiga seolah berada di agama Amr bin
Ash”. Decak kagum Maria tidak dapat lagi dibendung.
Oleh : Ahmad Mahfudz Arief