November 23, 2020

,


Oleh: Basiruddin Salim (A Bas)


"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan dari jenismu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberikan rezeki dari yang baik..." QS. An-Nahl. 


Potret kehidupan memang banyak menghabiskan masa hidup untuk mencari. Siapapun bisa saja berada di puncak keberuntungan, atau malah mungkin jatuh dalam keterpurukan. Dalam kondisi tertentu, kadang kala seseorang sangat bersemangat untuk mengejar. Namun, entah lebih dari sekian kalinya, ia mungkin hanya pasrah menunggu dan berdiam. Berharap nasib baik kian bertandang. Bagi yang tergerak hatinya, ia percaya bahwa cinta adalah final dari segalanya. Ia adalah ujung peraduan dari penatnya perjalanan. 


Inikah bagian dari obsesi itu? Memantapkan langkah dalam memilih pendamping. Berpasangan hingga tutup usia. Berpadukasih dalam dekapan mesra, yang tidak hanya megah saat suasana pesta. Tidak juga hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat, sarana pemuas keterbuaian syahwat. Di sanalah kisah nyata dimulai; pengembangan hidup, melatih kesabaran, mengontrol karakter, berkomitmen, berkorban. Mengecap jannah, merajut cinta. Meniti jalan kembali kepada-Nya.


"Hira... Hira tunggu! 

"Iya, cepetan dong Li! Aku buru-buru nih, mau ke ruang Prof. Dr. Lukman, urus skripsiku" 

"Ooh. Okey.. nih!" Lia langsung menyodorkan sesuatu terbungkus plastik tepat di depan mukanya. 

"Wah.. Siapa lagi ini Li?" tanya Hira keheranan dengan kaca mata sedikit terangkat ditambah kerut alisnya yang runcing. Semakin tampak anggun dan cantik. 

"Tuh keliatan kok ra! Eh.. sana gih cepet urus skripsimu biar lekas nyusul resepsi. hehehe.. Katanya buru-buru. Jangan lupa hadir ya sayaang!" 

"Ok. siap boss. Insyaallah. Selamat ya Li! Maaf ya, sekarang aku harus segera pergi, Bye!" Hatinya mulai gerimis. Sambil menuruni anak tangga, antara bahagia, iri juga ketir merana, Hira melambaikan tangan pada Lia. Teman Hira itu hanya menyunggingkan senyum, menyaksikan lambaian tangannya. 


Tepat ba'da Isya dan masih dalam balutan mukena, Hira perlahan membuka tasnya. Ia raih undangan pernikahan berdesain anggun yang baru tadi dikasih Lia, sahabatnya yang selalu terlihat tegar dan energik. Matanya sibuk mengikuti lengkung-lengkung rangkaian huruf bertinta perak yang menghiasi lembar undangan itu. Satu persatu, sahabat-sahabatnya telah mendahuluinya duduk di kursi pelaminan. Baru satu bulan yang lalu, Bilal teman seangkatan dengannya telah mempersunting Khumaira, gadis cantik asal pulau Mataram. Alias pulau Madura tanah garam. Bahkan Novita salah satu teman pegiat kajian bersamanya, menurut sumber berita sudah mulai ada rambu hijau sama si Deni. Lain lagi dengan Ulya, teman seperjuangan di Madrasah Aliyah dulu. Karena tidak bisa melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi, justru ia malah segera dipertemukan dengan jodohnya. Hampir setahun, ia telah dianugerahi anak yang imut dan lucu. Begitu beruntungnya mereka semua. 


"Mas Fardan... Andai saja saat itu kau lebih tegas dan mau memberiku satu titik jelas saja, tentu aku takkan pernah pergi darimu mas.." Gumam Hira dalam lamunan. Kenangan itu kembali berputar, menyisakan pilu, mengiris setiap inci luka. 

 ***

Merindukan kekasih impian agar datang lebih cepat, memang hal yang sangat wajar dan lazim terjadi. Nikah dinipun akan dirasa sangat tepat daripada terlalu lama menahan himpitan gundah. Barangkali, inilah buah dari tren nikah muda yang biasa digelorakan kaum hijrah itu. Sama halnya seperti yang kerap dialami banyak mahasiswi semester akhir masa kini; entah ia yang terlalu meradang, galau, khawatir, gelisah sekaligus baper jika kedatangan si calon imam belum juga menunjukkan tanda-tanda. Pikirnya, sedangkan yang lain sudah punya bahu untuk bersandar, teman berkisah juga membimbing kala salah. 


Hira baru saja menginjak umur dua puluh tiga tahun. Usia perempuan yang dikira sudah cukup matang untuk membina mahligai rumah tangga. Sebentar lagi, ia juga bakal menyandang gelar sarjananya. Namun yang namanya jodoh, tetap tak kunjung menampakkan jati dirinya. Kegelisahan mulai terasa. Jodoh yang katanya akan datang tepat dan indah pada waktunya, kini menjadi kalimat paling akrab sebagai pelipur lara. Beginilah cara menyemangati diri agar tetap sabar menanti. Dia adalah Zahira Hibbatillah yang selalu tertegun ketika mengingat kisah cinta Bakri, orang tuanya. Ia lihat, betapa tegar serta begitu tulusnya cinta mereka. Merupakan sosok figur nyata yang selalu setia dengan istri pertama sekaligus terakhir dalam sisa hidupnya. Betul, ia telah ditinggal Hana sekian lama. Namun cintanya tetaplah cinta yang sama. Kerinduan itu, menyelimuti kepergiannya. Separuh hatinya ikut terbawa pergi. Cinta yang tak tergantikan. 


Berbeda dengan Hira. Tepat enam bulan lalu akhir segala cerita cinta itu. Menjadi jelas baginya, bahwa Fardan yang tak mampu menunjukkan ke-gentle-lannya. Sungguh sangat disayangkan. Setahun lebih bertahan dalam jalinan kisah asmara, namun tak ada yang tahu ujung sebuah peraduan. 


"Tapi mas, aku juga butuh kepastianmu lo! Sudah lama aku menunggu hal itu. Kamu tega ya, selalu menggantung harapanku. Sudah sekian kali mas Fardan mengatakan lain kali-lain kali dan terus begitu. Aku mau segara jadi yang halal buatmu, dan tentu kau halal bagiku mas. Itu saja permintanku!" 


"Ah, sudahlah ra. Kamu pikir ini gampang, gitu?! Tidak buat aku loh ra.. Kalau kamu sudah tidak mau bersabar lagi, ya udah kita selesai aja. Pertemuan ini adalah yang terakhir. Aku berkata begini, ya karena aku tidak bisa memberimu kepastian sekarang. Aku juga tidak mau berlarut-larut memberimu kepalsuan sebagaimana perkiraanmu itu. Sebetulnya aku juga bingung dari kemarin. Bahkan sempat aku terbersit bagaimana kalau kita putus saja. Dan sekarang bisa kita putuskan bersama. Hira, kamu bebas dariku. Terimakasih ya, dan aku mohon maaf untuk semuanya." Kenangan itu, kembali menyapanya. Sosok yang sempat ia kira sebagai calon imam. Lelaki utusan Tuhan. 


Di sisi lain, Fardan dengan segala keterbatasannya juga menelan pahit. Tidak ada kesempatan untuk ia jelaskan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Sang matelu; mahasiswa telat lulus, cap baru oleh teman-temannya. Maklum saja, sejak awal ia memang terbilang sangat aktif di berbagai kegiatan dan civitas-organisasi luar Kampus. Fokus kuliahnya, sedikit ia kesampingkan. Sudah berulang kali revisi skripsi, belum juga menuai sidang. Ditambah problem keluarga yang sedang dirundung berbagai masalah. Dengan seperti ini, ia dituntut lebih dewasa. Ia benar-benar diuji, sampai harus rela melepas gandolan hati. Cukuplah pertemuan terakhir mereka di Kafe Tsurayya dekat kampus itu. Hanya karena menjadi korban semesta yang dirasa kini sedang tidak berpihak kepadanya. 

***

Hari berganti, dentuman waktu tetap setia mengitari poros jalannya. Yang telah terjadi biarlah terjadi dan berlalu begitu saja. Tak ada gunanya menangisi susu yang sudah terlanjur tumpah. Saatnya menyaksikan rawut kebahagiaan yang terpancar mempesona. Menyambut masa depan, dalam balutan mahligai cinta yang sebenarnya. Di penghujung kesepakatan bersama; adalah hari yang begitu sakral baginya dan keluarga, hari pernikahan. Senyum mereka, sosok luar biasa. Ibu yang telah bertaruh nyawa saat melahirkan anak-anaknya. Dari segenap jiwa-raganya ia tunaikan kiprah terbaik. Juga dari dirinya tertanam didikan pertama, dengan segala ketelatenan juga penuh kasih-sayang. Begitupun dengan seorang Ayah. Sosok yang selalu berusaha membuat keluarga bahagia, kebutuhan tercukupi, mencarikan rezeki halal dan menjaga keluarga tanpa batas. Di hari yang agung ini, tetap saja mereka tampil dengan sejuta tanggung jawabnya. Turut menyebar undangan, menyiapkan hidangan, menyambut para tamu beserta kesibukan-kesibukan sejenisnya. 


"Hadirin tamu undangan yang berbahagia. Tibalah saatnya untuk mendengarkan pesan sekaligus nasihat pemasrahan tanggung jawab yang akan disampaikan langsung oleh Ayahanda mempelai perempuan. Kepadanya dipersilahkan." Begitulah Mc mempersilahkan seseorang yang tidak ia sebut namanya di acara pernikahan sekaligus walimatul 'urs saat itu. Seketika semua pandangan tertuju pada seorang bapak paruh baya dengan batik khas Nusantara melangkah menuju panggung pelaminan yang dihias indah. Bertabur aneka bunga, penuh dengan ukiran-ukiran layaknya singgasana kerajaan, lengkap dengan lampu klap-klip di setiap sisi. Di sana kedua mempelai duduk berdampingan dengan anggunnya. Sesaat ketika seorang bapak itu menaiki panggung pelaminan, terlihat kedua mempelai berdiri menunjukkan rasa hormat dan takzimnya. Si Bapak sesekali tersenyum, air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Setelah mengucapkan basmalah serta salam, sang bapak mulai menyampaikan sambutan hangatnya.


Saya adalah orang pertama yang merangkulmu putriku. Tangisanmu saat itu adalah kebahagiaan luar biasa buat kami. Kuketukkan azan dan ikamah kala itu, maka seketika dirimu mulai tenang mendengarkannya. Sungguh kau adalah anugerah terindah bagi keluarga kecil ini. Ayahmu ini, adalah orang pertama yang merangkulmu sedari kecil. Saya dan ibumu yang menimang, menggendong dan membopongmu. Letih penatku bisa hilang seketika karena melihat senyum dan tawa kemungilanmu. Sungguh kami sangat menyangimu nak! Masih sempurna ingatanku bagaimana masa kecilmu dulu. Turut kami saksikan pula setiap satu senti dari pertumbuhanmu. Rasanya masih seperti baru kemarin. Satu minggu, satu bulan atau masih baru  setahun yang lalu kau dan masa kecilmu itu. Tapi ternyata, sekarang aku mendadak dikagetkan tentang hari pernikahanmu ini. Waktu dan seperangkatnya melaju dengan cepatnya. Maafkan ayah dan ibumu ini, jika terlalu abai melihat perkembanganmu nak. Kedekatan dan keakraban selama ini, sejatinya selalu kami inginkan. Namun, begitulah perjalanan hidup ini harus terus bergulir... Hadirin khidmat, menyimak setiap ungkapan si bapak. Seakan turut merenungi kenangan masa lalu mereka masing-masing. Terlalu sibuk mengejar dunia, hingga waktu bersama keluarga acap kali tergadaikan.


“Dan untukmu yang kini menjadi menantuku, nak Fajar Abdillah. Saya percayakan putriku padamu nak. Saya orang pertama yang mencintai putriku ini, sebelum dirimu. Saya berharap kamu adalah orang yang tepat untuk bersamanya, selamanya. Saya mohon, bahagiakanlah dia. Tak perlu kau belikan ia pernak-pernik perhiasan. Cukup hargai dia dan jangan pernah kau sakiti hatinya. Jika ia sedih, maka kami jauh lebih sedih menanggug perihnya. Harapan kami, semoga segala kebaikan selalu menyertai kalian berdua. Kami juga minta, cukup perdengarkan dan perlihatkan kepada kami hal-hal baik saja. Kalaupun harus ada masalah dalam rumah tangga kalian, maka selesaikanlah bersama dengan pikiran, hati dan jiwa yang tenang." Ujar si Bapak sambil menyeka air mata, menyampaikan pesan-pesannya kepada putri dan menantunya. Terlihat mempelai perempuan terisak dengan air mata yang menganak sungai di pipi. Sesak rasanya. 

***

Sampai tiba saat menyatunya dua cinta, kerinduan itu tak kan pernah berakhir. Ibrahim bin Adham dalam salah satu gubahan bait sufinya bersenandung: "Dalam hati ini terdapat banyak macam cinta, yang semuanya dapat bersatu sejak mata cintaku melihatmu."

Di detik-detik penghujung megahnya acara, di luar rumah orang-orang dan para panitia masih saja sibuk membereskan tanggung jawabnya masing-masing. Ditemani dengan berbagai alunan musik  cinta yang masih mengalun bertalu-talu, bersahut-sahutan;


Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Dengan dawai-dawai rindu yang selalu menggebu 

Di waktu ini satukan jiwa dalam hati 

Walau keadaan yang sunyi 

Ku harap engkau mengerti 

Di saat awan turunkan angin serta hujan 

Tetaplah engkau dalam tenang 

Kita luapkan kasih sayang 

Bergoyang-goyang rerumputan kala angin malam 

Laksananya bintang-bintang dan rembulan jua turut senang 

Merasakan kasih dan sayang yang telah kita curahkan 

Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Bagaikan Raja dan Ratu di singgasana yang menyatu 


Ingar-bingar resepsi pernikahan telah berakhir. Kini, Fajar Abdillah dan Laylia Khairun Nisa' binti Mahmud telah berada di kamar pengantin. Kamar yang beraroma semerbak bunga, dengan ranjang merah dan kelambunya yang berwarna putih. Bersama membelah pekatnya malam, menyusuri setiap sudut bahagia. Bersyukur kepada-Nya atas anugerah segala Cinta. 


"Sungguh kau beruntung Li, Timing-mu begitu tepat pula. Habis Skripsi, langsung bergandeng Resepsi. Indahnya bukan? Dua kenikmatan yang didapat secara beruntun. Sudah kusaksikan sahabatku, Lia. Kau memang beruntung. Bisa merayakan keberhasilan studi dengan wisuda, kemudian dapat mengakhiri status masa lajang dengan riang-bahagia." Jauh di luar sana, Hira masih terpekur dengan lamunan kesendiriannya. Tetap menengadah dalam harap. 


“Apalah arti dari kebingungan ini? Bukankah tugasku hanya bisa beriktiar dan bersabar? Aku bungkam, terdiam. Mengenang kisah berlalu. Kemudian rapuh, berteman pilu yang perih. Aku berharap cinta itu berlabuh dengan indah. Tepat pada masanya. Dengan restu ridha-Nya. Ya Tuhan.. mohon segerakanlah! Aku sungguh telah merindukannya." Sekian.  


Mukattam, 27 September 2019 M.

November 04, 2020

,



Pelantikan Pengurus Forum Silaturrahmi Keluarga Besar Al-Khairat (FOSIKBA), Masa Bakti 2020-2021.


Kairo, selasa 03/11/2020,  Moh. Hidayat resmi menjabat sebagai ketua FOSIKBA menggantikan Abu Bakar. Roda pengurusan jabatan akan terus silih berganti mengikuti waktu yang terus bergulir. Ada yang menyerahkan jabatan dan ada pula yang menerimanya.


Semoga dengan jabatan baru yang diamanahkan kepada Moh. Hidayat mengantarkan FOSIKBA lebih maju dan berkarya.


Dalam acara pelantikan ini dihadiri oleh Penasehat FOSIKBA: Ust. Lukman Hakim Fayadh Lc. Dipl., Ust. Zakaria Asyraf, Lc., serta dewan konsultatif Ust. Fathur Rosi Ahmad, Lc., dan undangan lainnya.


Ketua FOSIKBA Moh Hidayat menyampaikan sambutannya meminta supaya semua Anggota bekerja keras, tuntas dan cerdas, dan berupaya dengan semampunya agar semua kegiatan yang akan direncanakan berjalan dengan sebaik-baiknya. Ungkapnya, karena saya sebagai ketua bertanggung jawab penuh dengan semua yang berkaitan dengan kinerja masing masing Anggota. 


Penasehat FOSIKBA Ust.  Lukman Hakim Fayadh, Lc. Dipl., dalam sambutannya menyampaikan bahwa FOSIKBA ini selain forum silaturahim juga menjadi 'uluran tangan' dari apa yang kita dapat dari AL-Azhar.  Forum ini pula menjadi alat atau media untuk mengolah kemampuan kita dan mendiskusikan apa yang kita tangkap di bangku kuliah. Dan ini juga, mengapa forum ini harus terus berdiri dan sebagai anggota harus ikhlas  lillah, karena dengan begitu akan berkembang dan membuahkan hasil yang maksimal apa yang kita inginkan. Jangan mengharapkan sesuatu pun dari FOSIKBA yang bersifat materi karena ia tidak punya apa-apa. Dan semoga apa yg kita kerjakan untuk FOSIKBA ini dicatat amal baik kita dan menjadi pahala yang besar kelak di akhirat. Dan buatlah FOSIKBA ini jaya dan punya karya.


Acara pelantikan ini ditutup dengan serah terima jabatan dari wakil ketua FOSIKBA lama, Moh FadhaL kepada ketua baru Moh Hidayat.

Tim Reporter Fosikba

September 03, 2020

,






Oleh: Fadal Mohamad

Sering kita menyamakan Sesuatu yang tampak sama dari luar, namun berbeda dari segi esensial. Dan ini harus ditarik ulang bahwa hal yang demikian jika dibiarkan akan mengakibatkan paham yang salah ataupun salah paham, termasuk ketika kita menyamakan antara akhlak dan perilaku seseorang. 

Akhlak, ketika kita lihat dari perkataan seorang terhadap kata itu, seakan menyamakannya dengan tigkah laku atau perilaku yang timbul dari seseorang, namun hakikat keduanya tidak sama. perilaku seseorang tidak bisa menjadi jaminan mutlak dari akhlak seseorang, karena seseorang yang melakukan kejahatan tidak bisa dihukumi begitu saja bahwa ia seseorang yang tidak berakhlak. Begitu pula orang yang tidak bersedekah, juga tidak bisa dikatakan bahwa ia bukan orang saleh.

 Buktinya ketika ada seorang mencuri makanan dengan alasan karena kalau tidak mencuri, dia akan mati. Sedangkan ia tidak mendapatkan satu orang pun yang hendak memberinya makanan. Maka dengan keadaan yang seperti itu, tidak bisa dikatakan bahwa ia adalah seseorang yang buruk. Demikian orang shaleh. Kata sederhananya perilaku itu terkadang dilakukan karena ada sebab yang menuntut seseorang untuk bertindak.

 Oleh karena itu, kita harus paham mana yang akhlak dan yang mana itu perilaku. Akhlak adalah suatu keadaan atau sifat yang ada di dalam jiwa, yang mana dari sifat tersebut mendorong pada suatu tindakan dengan mudah tanpa proses berpikir panjang, bisa dikatakan juga akhlak adalah kekuatan atau kemampuan yang ada dalam diri manusia yang menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mudah, baik kelakuan yang timbul itu baik ataupun buruk. Sedangakan suluk ialah perilaku seseorang yang timbul atas dasar kehendak dan kemauannya sendiri.

 Jadi, dari sini bisa dipahami bahwa akhlak bersifat intern, sedangkan perilaku bersifat ekstern. Namun yang harus digarisbawahi di sini bahwa hubungan antara keduanya ialah pengaruh dan dampak. Dengan artian jika perilaku seseorang baik ialah karena dampak dari akhlak yang baik, jika perilaku seseorang jelek atau buruk ialah karena dampak dari akhlak yang buruk. Jadi ketika kita melihat hubungan antara keduanya, sama-sama memiliki hubungan yang erat yang saling tarik menarik. Dari satu sisi akhlak adalah kekuatan yang memaksa menimbulkan perilaku, dari sisi yang lain perilaku ialah kelakuan -dengan latihan untuk selalu memperbaiki- membentuk akhlak yang ada di dalam diri seseorang.

 Yang menjadi catatan penting di sini yang harus kita perhatikan, terkadang kita melihat akhlak baik dari seseorang namun perilakunya buruk, atau sebaliknya, itu dikarenakan hal tersebut ia lakukan karena adanya sebab-sebab eksternal yang memaksa dia untuk melakukan perihal tersebut. Maka untuk menghukumi perilaku yang berakhlak harus melihat bahwa perilaku tersebut ia lakukan dengan keinginannya sendiri dan tidak ada sebab-sebab eksternal yang memaksa dia untuk melakukan perihal yang tidak diinginkan oleh akhlaknya itu, seperti contoh yang disebutkan di atas. Dan juga yang harus dipahami betul, semua yg sudah terlampirkan di atas termasuk dalam ranah akhlak. Adapun dalam ranah yang lain munkin saja berbeda. Waallahu alam.

 Di akhir kalam, saya ingin mengutip sepotong bait:
 وقل لمن لم ينتصف لمقصدي # العذر حق واجب للمبتدي 
ولبني إحدى وعشرين سنة # معذرة مقبولة مستحسنة 


Mei 25, 2020

,
Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Saya pernah menjumpai tulisan begini: "Barang siapa yang menyembah Ramadan, ia telah usai. Dan barang siapa yang menyembah Allah Swt, ia tetap kekal sepanjang masa."

Ungkapan di atas bentuk dakwah untuk tidak meninggalkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama Ramadan. Kebaikan tersebut murni karena ibadah kepada Allah, bukan (ibadah) kepada Ramadan. Jadi, bisa dilakukan meskipun Ramadan telah usai.

Beribadah bisa kapan saja dan di mana pun, cuma ada masa-masa tertentu dan di tempat khusus nilai ibadah lebih istimewa dari lainnya. Iya, semisal di bulan Ramadan atau ibadah di tanah haram. Menurutku pengkhususan tersebut hanya bonus dari Allah, tak perlu dijadikan dasar pilah-pilih kapan seorang itu harus semangat dan tekun beribadah kepada Tuhan.

Anjuran melanjutkan kebiasaan baik seusai Ramadan, ada yang bentuknya perintah langsung (dengan Nash) ada yang tidak. Bagian pertama itu adalah puasa Syawal.

Dalam Shahih Imam Muslim riwayat dari Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, Nabi Saw. berkata: "Barang siapa yang telah usai menjalankan puasa Ramadan, kemudian melanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, ia dihitung (pahalanya) telah puasa selama setahun penuh."

Bagaimana hitung-hitungannya puasa sebulan dan 6 hari, sama seperti puasa setahun penuh? Ulama menjawab bahwa setiap 1 kebaikan bernilai 10 kebaikan. Jadi orang yang berpuasa sebulan penuh dan 6 hari setelahnya memiliki 36 kebaikan. 36x10= 360. 360 adalah jumlah hari dalam setahun.

Puasa Syawal selain berpahala besar, posisi puasa Syawal ini didudukkan seperti halnya salat Rawatib Qabiliyah dan Ba'diyah bagi salat 5 waktu. Salat-salat ini dikatakan sebagai pelengkap dan penyempurna bilamana dalam salat wajib didapati kekurangan.

Keadaan yang sama juga dimiliki oleh puasa Ramadan; ia memiliki pelengkap dan penyempurna bilamana ada yang kurang. Puasa bulan Sya'ban ibarat salat sunah Qabliyyah dan puasa Syawal ibarat salat sunah Ba'diyyah.

Puasa 6 hari bulan Syawal tak mesti dilakukan kontinyu selama 6 hari berturut-turut. Ia boleh dicicil. Misalnya dilakukan senin-kamis di minggu pertama, senin-kamis di minggu kedua, begitu seterusnya. Atau bisa juga dilakukan di Ayyamil Bidh, petengahan bulan. Kendati begitu yang lebih utama memang disegerakan, karena kan tidak tahu barangkali di minggu berikutnya ada uzur.

Menurutnya saya memang lebih baik disegerakan, mengingat biasanya minggu pertama bulan Syawal aktivitas masih pasif. Sehingga dapat membantu pelaksanaan puasanya lebih baik dan sempurna; tak terbebani dengan kesibukan lain.

Puasa Syawal juga menjadi kabar gembira bagi seseorang yang meninggalkan puasa di Ramadan, terutama perempuan, untuk segera menganti di bulan Syawal ini. Dengan begitu ia memperoleh 2 kebaikan: kebaikan puasa qada' dan sunah.

Bolehnya menggabung niat puasa qada' dan sunah merupakan pendapat ulama Syafiiyah. Dengan catatan ia tidak niat puasa sunah bulan Syawal, melainkan niat melaksanakan puasa qada'. Artinya Anda tidak boleh niat puasa sunah bulan Syawal sekalian puasa qada'. Pandangan ini sebagaimana difatwakan oleh Imam Ar-Ramli.

Masalah ini mirip (bisa dianalogikan) dengan salat Tahiyyatal masjid. Anda masuk masjid, ketika itu mendapati salat berjemaah sedang berlangsung, otomatis langsung salat mengikuti imam. Tanpa diniatkan salat Tahiyyatal Masjid pun Anda akan memperoleh pahalanya, karena yang dianjurkan ketika masuk masjid melakukan salat, baik salat itu wajib atau sunah.

Puasa Syawal juga begitu; teks hadis Nabi di atas tak menjelaskan puasa di bulan Syawal dengan niat tertentu.

April 27, 2020

,

Oleh: M. Muniri

Dalam kesempatan ini penulis akan sedikit menjelaskan tentang apa makna dari puasa itu sendiri, baik secara bahasa maupun secara istilah.

Sebagai umat Islam sangatlah penting mengetahui makna dari puasa, dan kapan diwajibkan untuk melaksanakan ibadah tersebut. Agar lebih memantapkan keyakinan dan bertambahnya keikhlasan dalam mengerjakan ibadah tersebut.

Dalam kitab Mas’alah as-Siyam karangan Syekh Muhammad Thantawi dijelaskan bahwasanya makna saum (puasa) secara bahasa memiliki arti: menahan dari sesuatu. Misalkan si fulan sedang diam, artinya dia menahan dirinya dari berbicara.

Adapun secara istilah puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan dan segala yang membatalkan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan disertai dengan niat.

Lalu kapan puasa itu diwajibkan? Allah Swt. mewajibkan puasa bagi kaum Islam di bulan Sya’ban pada abad kedua Hijriyah dan kefarduhannya telah ditetapkan, baik dalam Al-Qu’ran, hadis dan ijmak.

Ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan ibadah puasa yaitu firman Allah Swt. surah al-Baqarah ayat 183. Yang artinya "Hai orang orang yg beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Dan lanjutan ayat 184 yang artinya: "Bulan Ramadan bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupi bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan padamu, supaya kamu bersyukur."

Sedangkan dalam hadis pun banyak yang menjelaskan tentang ketetapan dan kewajiban puasa, di antaranya:
مارواه البخاري ومسلم عن ابن عمر—رضي الله عنهما—أن رسول الله—صلي الله عليه وسلم—قال: إن الإسلام بني على خمس : شهادة أن لا اله الاالله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وحج البيت

Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Islam dibangun dengan lima pilar: syahadat (persaksian bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan sesunggunya nabi Muhammad adalah utusan Allah), mengerjakan salat , membayar zakat, puasa di bulan Ramadan dan haji." HR. Bukhari dan Muslim.

Sedangkan para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi setiap mukalaf melaksanakan ibadah puasa. Dan dihukumi murtad (keluar dari agama Islam) bagi mereka yang mengingkarinya.
Karena ia sudah ingkar terhadap apa yang telah ditetapkan oleh agama.

April 15, 2020

,
Add caption
Oleh: M. Syarief

Mesir adalah sebagian negara yang penduduknya meyakini dan menganut suatu tarekat sufi. Ada puluhan bahkan ratusan tarekat di dunia ini. Namun, hanya ada tujuh yang mashur diikuti oleh penduduk Mesir. Sehingga sangat mudah kita temui amaliah tasawuf di sini, ada As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri, Al-Jakfari dan yang lain. Bagi kalangan tertuntu tentu timbul pertanyaan: apakah itu tasawuf?, kapan lahir disiplin ilmu tasawuf?, mengapa ada banyak kelompok sufi di dalamnya?

Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari cabang keilmuan Islam. Sama dengan ilmu lainnya, yakni juga berasal dari Naqliyah yang pada awalnya istilah ini (tasawuf) belum ada di masa Nabi Saw. Akan tetapi amaliah yang serupa sebenarnya sudah ada di masa itu. Seperti halnya ilmu nahwu, Ushul Fikih, Tajwid dan lainnya.

Maka metode dalam menghukumi suatu hal baik atau buruk tanpa ada gambaran jelas sebelumnya terkait hal tersebut bukanlah cara yang benar. Sehingga menghukumi ilmu tasawuf sebagai bidah tanpa ada gambaran jelas berupa: definisi, objek, permasalahan atau dalam istilahnya al-Mabādi’ al-Asyrah.  Dari itu sangat penting mempelajari dan meneliti; apa itu tasawuf yang nantinya akan mengantarkan kita pada kesimpulan akhir, apakah layak dan boleh mempelajari ilmu ini yang mana belum ada di masa Nabi saw?

Apabila kita teliti lebih jauh terkait ilmu tasawuf akan kita temui bahwa di dalamnya terdapat nilai dan perbuatan baik yang sesuai dengan amaliah para Sahabat Nabi saw. Bahkan tasawuf merupakan salah satu rukun dalam agama yang terekam dalam perbincangan antara Nabi dan malaikat Jibril serta diyakini oleh para Sahabat. Islam menjadi perantara dalam membersihkan jiwa. Iman sebagai cara dalam memperbaiki hati dan Ihsan (tasawuf) sebagai cara dalam menyucikan raga (batin).

Jika kita mandi sebagai cara membersihkan badan dari kotoran yang ada di tubuh, maka dapat kita jadikan pula amaliyah tasawuf sebagai cara pembelajaran dan penyucian diri (batin) yang terbingkai dalam tiga T: Takhalli (pembebasan diri), Tahalli (menghiasi diri), dan Tajalli (menampakan diri).

Setelah kita ketahui sedikit gambaran tentang tasawuf, sekarang timbul pertanyaan lain seperti ini, misalnya, bagaimana menyikapi banyaknya tariqah sufi yang ada sekarang? Ada Al-Qadariyah, As-Syadziliyah, An-Naqsyabandiyah dan masih banyak lagi, bukankah semua ini juga belum ada di masa Nabi Saw?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada hal perlu diperhatikan. Pertama, tujuan utama dari ilmu tasawuf ialah mensucikan batin agar sampai dan beribadah dengan baik kepada Tuhan. Sehingga betapapun banyaknya tariqah dan ajaran yang berbeda di dalamnya asalkan tujuan utamanya sama (mendekatkan diri kepadaNya), maka hal ini tidak menjadi masalah dalam artian boleh-boleh saja. Kalau kita analogikan seperti ini, salah satu keseharian Masisir ialah kuliah yang letak kampusnya ada di Darrosah. Namun keberadaan mereka berbeda-beda tempat untuk menuju ke situ. Ada yg dari Asyir, Tabbah, Zahra, Mukatam. Sehingga sah-sah saja mereka melawati jalur masing-masing yang diyakini paling cocok dan pas. Apakah masih diharuskan mereka semua berada dalam satu bus 80 coret? Tentu tidak, jika tetap dipaksakan sama maka akan menjadi musibah besar bagi mereka yang tinggal di Mukatam.

Kedua, beragamnya tariqah ini juga berlandaskan pemahaman dari hadis Nabi saw. ketika ditanyai oleh salah satu sahabat, perbuatan apakah yang paling utama dalam Islam? Jawaban Nabi beragam, berupa salat, menolong orang lain, berbakti kepada orang tua. Juga di kesempatan lain terkait wasiat Nabi untuk para Sahabat ketika itu. Beliau pernah berwasiat pada Abdullah bin Mas'ud agar menjaga salat dan qiyamul lail. Dalam keadaan lain berwasiat kepada sahabat lain agar mengamalkan puasa.
Maka keberagaman tariqah merupakan hal yang sudah dicontohkan Nabi dari adanya peristiwa di atas. Sebab Nabi mendidik para Sahabat dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Sehingga cara mereka dalam beribadah mendekatkan diri kepadaNya sangat beragam dan telah diakui meski tidak sama karena sumbernya satu, yakni Nabi saw. Ada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari ra. yang menjadikan keadaan fakir sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Sayyidina Abu Hurairah ra. Menjadikan ilmu, meriwayatkan hadis Nabi sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Yakni setiap sahabat mempunyai amaliah dan cara yang berbeda dalam beribadah yang kesemuanya berada dalam satu payung “Penyucian diri” dari hal-hal kotor berupa dengki, riya, sombong, dan yang lainnya.

Selanjutnya timbul pertanyaan lain. Mengapa tariqah ini tidak dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi? Mengapa dinisbatkan kepada mereka As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri dan yang lain?

Dalam tradisi dunia kelimuan Islam semuanya bersumber dari Alquran dan hadis, hanya saja penamaan dan istilah suatu ilmu layak juga dinisbahkan kepada mereka yang membukukan, seperti ilmu nahwu yang dinisbahkan kepada Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, ilmu hadis kepada Syihab Az-Zuhri, Ushul Fikih kepada Imam As Syafii, ilmu Arudl kepada Imam Khalil. Begitu juga ilmu tasawuf dan tariqah sufi dinisbahkan kepada As Syadzili misalnya, karena beliau yang memberikan cara amaliyah ibadah guna membersihkan jiwa dan pendekatan diri yang diamabil dari pemahamannya terkait matode Nabi dalam mendidik para Sahabat. Hal itu dapat kita pahami dari pernyataannya: “Mereka yang tidak hafal Alquran dan berani membahas hadis janganlah kalian ambil pendapatnya, sebab adanya kemungkinan besar mereka salah dalam hal itu.” Sehingga perlu kita pahami bersama juga perkataan Imam Malik agar tidak salah dalam bertasawuf: “Mereka yang mengamalkan ajaran tasawuf tanpa adanya pemahaman dalam fikih maka tergolong zindiq, dan mereka yang paham fikih tanpa berprilaku tasawuf maka tergolong fasiq, dan mereka yang berprilaku tasawuf dan paham fikih maka amaliyahnya sudah benar dan diakui."

Dalam hal ini keberdaan ilmu tasawuf dan ilmu fikih adalah satu kesatuan yang tak boleh lepas salah satunya, bagai dua sisi mata uang. Begitulah seputar pembahasan ilmu tasawuf. Sekarang masihkah Anda meragukan dan mengharamkan keberadaan ilmu tasawuf?

April 10, 2020

,
Oleh: Fath Rosi

Beberapa minggu yang lalu (sebelum pandemi Covid-19 melanda Mesir dan dunia), setiap hari selasa, usai salat Zuhur, biasa penulis dan beberapa teman wafidin, mahasiswa asing, tak terkecuali sebagian Mahasiswa Indonesia di Mesir, bahkan mahasiswa Mesir, ikut hadir dalam majlis talaqi yang diampu oleh Dr. Muhammad Abu Musa, Dewan Ulama Senior Al-Azhar. Kitab yang dipelajari adalah Dalail al-‘Ijaz, karya Imam Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.), kitab rujukan primer dalam kajian i'jaz al-Qur'an, Balaghah dan sastra Arab secara umum.

Tidak lama ia menjelaskan isi kitab dimaksud, datang seorang ‘Amu Mesir (sapaan akrab orang mesir kepada yang lebih tua) mendekati Syekh, dan setelah dipersilahkan, ia pun mengutarakan maksudnya, yaitu untuk meminta fatwa perihal persoalan di keluarganya. Rasanya, tidak sulit untuk menjawab pertanyaan sang kakek itu, bahkan kita yang masih bau kencur pun dalam ilmu fiqh akan mampu menjawab secara lugas. Meskipun demikian, Syekh tidak memberikan jawaba, "Saya bukan ahli dalam bidang ini (Fatwa fiqh) coba kamu tanya ke Dar al- Ifta Mesir," dauh beliau sembari memerintahkan salah satu dari kita untuk mengantar kakek itu ke ruangan Fatwa (ruangan yang dikhususkan untuk Istifta’ (minta fatwa) bagi masyarakat umum yang terletak dekat pintu masuk utama masjid al-Azhar.

Pemandangan serupa, juga kita saksikan ketika Grand Syekh Azhar, Dr. Ahmad Tayyib  berkunjung (baca: diundang) ke Indonesia, tepatnya ketika ia memberikan kuliah umum di hadapan sesepuh dan para pejabat negara tentang "Toleransi Agama Islam" beberapa tahun yang lalu. Ia terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur'an, ketika ingin mengutip ayat al-Qur'an dan tafsir ayat yang beliau sampaikan.

Setidaknya, dari dua teladan singkat di atas, Al-Azhar melalui para ulamanya mewanti-wanti kepada kita, santrinya, bahwa tidak boleh sembarang memberikan komentar dalam amanah ilmu yang kita emban, biarkan ahlinya yang berbicara. Kesimpulan ini bisa saja merupakan sekedar spekulasi seorang santri pada madrasahnya, akan tetapi banyak contoh teladan ulama terdahulu yang lebih substantif yang akan penulis sebutkan pada pragraf berikut.

Dalam khazanah intelektul sejarah ulama Islam, banyak kita temui teladan serupa, misalnya seperti yang disebutkan dalam beberapa kitab biografi, bahwa Imam al-Mundziri (w. 656 H.) seorang ahli hadis ternama di Mesir. Pada saat yang sama, ia juga seorang Faqih yang menjadi rujukan masyarakat setempat dalam menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari.

Ketika Imam Izzudin bin  Abdissalam, (w. 660 H.), cendikiawan muslim, ahli fikih dan Maqashid al-Syariah, hijrah dari Syam ke Mesir dan bermukim di sana, Imam al-Mundziri (w. 656 H.) tiba-tiba berhenti memberikan fatwa pada masyarakat. Menurutnya, ia tidak pantas memberikan fatwa pada masyarakat, Imam Izzudin lebih pantas untuk itu.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa pada suatu kesempatan, tiga ulama besar, yaitu Imam al-Mundziri (w. 656 H.), Imam Izzuddin bin  Abdussalam (w. 660 H.) dan Imam al-Syadzili (w. 656 H.), pelopor Thariqah Syadziliyah berkumpul dalam satu majlis Tazkiyah al-Nafs; kajian Risalah Qusyairiyah dalam bidang ilmu tasawuf di Mesir. Imam al-Mundziri dan Imam Izzuddin menyerahkan mayoritas waktu majlis itu kepada Imam al-Syadili dan mereka berdua lebih banyak mendengarkan kalam-kalam hikmah dari sang sufi ternama itu.

Iman kepada adanya tanggung jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Allah Swt. kelak tentang apa yang kita lakukan di dunia ini harus selalu kita tanamkan dalam hati kita, khususnya dalam berijtihad, (kalau boleh dikatakan seperti itu) tanpa ilmu yang memadai. Kita selalu butuh sketsa "nafsi-nafsi" hari kiamat di kehidupan dunia ini dalam bentuk memorandum, pengingat setia untuk berkehidupan lebih baik.

Dalam kitab Shahih Imam Bukhari, Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini perumpamaan orang mukmin, maka sebutkanlah kepadaku, pohon apa itu?" Lalu mereka menerka-nerka sembarang pepohonan.  Abdullah berkata: "Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma." Kemudian mereka berkata: "Ya Rasulullah beri tahulah kami, pohon apa itu?" Lalu beliau menjawab: "Pohon itu adalah kurma."

Barangkali hadis di atas walaupun secara umum tidak ada kolerasinya dengan bahasan berfatwa dengan tanpa ilmu atau berbicara bukan dalam keahliannya, akan tetapi, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran sifat malu seorang sabahat Abdullah yang merasa paling kecil. Sahabat Abdullah merasa malu untuk berbicara apalagi di hadapan para sesepuh sahabat yang hadir pada saat itu, bahkan walaupun sudah yakin dengan jawabannya.
 
Di akhir tulisan sederhana ini, mari kita intropeksi diri, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 seperti sekarang, selalu ikuti arahan para ahli; khususnya dalam bidang medis dan agama. Semoga segera membaik. Amin.

April 04, 2020

,
Oleh: Dhaifil Ihsan

Sebelum membaca lebih lanjut, perlu diindahkan oleh diri kita; berbeda antara orang enggan mengakui kebenaran dengan orang yang terdoktrin oleh lingkungan. Karena kebanyakan manusia tumbuh, tidak lepas, atau sering terkontaminasi dengan lingkungan sehingga mereka terdoktrin oleh budaya, sosial dan ideologi. Jika kita sudah menjadi "anak" lingkungan, maka sulit untuk berubah. Bukan bermaksud bahwa saya pribadi sudah berada pada posisi yang benar, namun lebih tepatnya, mencoba untuk memahami posisi yang benar. Setelah menanamkan prinsip di atas, mari lanjut baca, sambil minum kopi.

Entah-berantah dari mana mereka menyimpulkan bahwa kita berada pada zaman kekufuran, penuh kezaliman dan kemungkaran. Satu-satunya jalan terbaik adalah dengan cara menegakkan sistem khilafah. Mereka beranggapan politik Islam begitu suci dan murni, penuh dengan justifikasi dalil, dan bertujuan untuk membela kemuliaan ajaran Islam, namun realitanya sering kali bertolak belakang. Mereka berulang kali hanya menggunakan Islam sebagai jargon upaya menarik simpati umat saja, dengan suara lantang mengatasnamakan agama dan nama Allah, namun kelakuan mereka masih jauh dari esensi Islam sendiri.

Asal muasal kesalahpahaman mereka tentang sistem khilafah, berawal dari kesimpulan salah yang mereka buat sendiri, bahwa khilafah itu Islam, dan Islam itu khilafah. Mereka menjadikan Islam dan khilafah satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Dua sisi mata uang.

Pada abad pertama, kaum muslimin mempunyai satu orang pemimpin atau khalifah, dan era yang paling sukses, yaitu pada masa Al-Khulafā' Al-Rāsyidīn. Mereka mampu menerapkan keadilan sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis, dalam artian, mampu menegakkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip agama melalui ijtihad mereka sendiri. Sistem khilafah sangat mudah diterapkan pada masa itu, karena negara Islam belum banyak jumlahnya, katakanlah hanya ada Rum dan Persia. Akan tetapi, sistem politik—seiring dengan dinamika zaman—terjadi kontaminasi, dan jumlah negara serta wilayah semakin bertambah sesuai dengan letak geografisnya, maka timbul aneka ragam bahasa, kultur, budaya dan semakin jauh pula jarak antara negara satu sama lain, sehingga sukar sekali menegakan satu pemerintahan atau khilafah saja, pada masa sekarang ini.

Dengan bertambahnya negara serta beraneka ragam bahasa, kenapa tidak mendirikan sebuah organisasi yang menampung dari berbagai negara untuk menegakkan sistem khilafah, seperti persatuan negara-negara Eropa, yang bekerjasama menyatukan ideologi, budaya, agama. Walaupun mereka menjalin relasi di bawah organisasi yang mempunyai visi yang sama, akan tetapi, setiap negara tersebut mempunyai sistem masing-masing untuk mengelola negaranya dengan hak sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Sesuai dengan fakta sejarah, bahwa sistem khilafah pernah diterapkan pada abad pertama, peristiwa tersebut tanpa ada anjuran dari Al-Qur'an, dan nabi Muhammad Saw. wafat, tanpa menjelaskan sistem pemerintahan yang baku pada generasi setelahnya. Akan tetapi, sistem pemerintahan pada masa tersebut dijadikan sebagai sistem musyawarah sesama kaum muslimin.

Dari kejadian tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap sistem politik yang menegakkan keadilan, maka sudah cukup untuk dijadikan sistem pemerintahan yang baku. Jika sistem demokrasi seperti sekarang sudah mencakup mengupayakan keadilan dan kebebasan untuk memilih sesuai hati nurani, maka sistem tersebut sudah sesuai dengan tujuan dan politik Islam. Karena Islam sendiri adalah sebuah agama dan negara, namun bedanya negara sesuatu yang fleksibel, tidak mempunyai format atau institusi khusus layaknya agama.

Khilafah adalah sebuah sistem dan bukan sebuah kewajiban, Islam tidak mewajibkan sistem politik atau sistem pemerintahan tertentu. Akan tetapi Islam mewajibkan sebuah negara untuk menerapkan syariat Allah, dan menjauhi perselisihan antara sesama manusia. Allah SWT berfirman:
( ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم)  {الأنفال: ٤٦}
Setiap pemerintahan yang memakai sistem demokrasi, khilafah, imamah, dan semacamnya yang berupaya menegakkan keadilan, kebebasan dan sesuai dengan al-maqāsid as-syariah (tujuan-tujuan diberlakukan syariah), maka sistem tersebut sudah menganut sistem khilafah yang sesungguhnya.

Negara kita memakai sistem apa, berlandaskan apa? Iya di Indonesia memakai sistem demokrasi berlandaskan Pancasila. Berarti tidak sesuai dengan dasar hukum agama Islam dong?, pantesan banyak korupsi di negeri kita. Sudah saatnya menegakkan sistem khilafah sebagai solusinya: takbir...takbir...

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis dll) adalah buatan manusia. Kalau contoh kita "jelek" dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang: "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya." Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang: "demokrasi hanya menghasilkan kekacauan." Jadi, yang di salahkan adalah demokrasinya. Di sini letak kesalahan kita, jangan katakan Pancasila yang melenceng dari agama, landasan kaum kafir. Bapak kita Soekarno untuk membentuk landasan tersebut masih bermusyawarah dengan para pahlawan dan tokoh nasional.

Mari kita lihat negara-negara yang kaya peradaban Islam: Saudi Arabia, misalnya, di sana menerapkan sistem kerajaan, Mesir, menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dengan mengangkat seorang Presiden, Turki juga sama. Lihat contoh lagi di negara maju, katakanlah  di Amerika sana, memakai sistem pemerintahan demokrasi, Inggris menerapkan sistem kerajaan.

Tidak ada di negara maju, punya peradaban yang menerapkan sistem khilafah. Indonesia? Tidak pernah mewarisi peradaban, dengan egonya mau menegakkan sistem khilafah. Jika kita hanya memperdebatkan masalah itu, hanya akan mengundang kekacauan, mempertaruhkan nyawa, musuhnya saudara sendiri, kapan negara kita akan maju?
Sudah saatnya kita bersatu bahu-membahu mengimpikan dan membangun negara maju penuh peradaban.

Maret 31, 2020

,
Oleh: Nafiah Zaini

Kawan, ajari aku untuk selalu bersabar
Bukan ego yang terus menjalar seperti api yang membakar
Ini bukan tentang sekedar harapan, ataupun permohonan
Bahkan lebih dari itu, karena nyawa harus bertaruh dengan kematian.

Selama luka masih bisa sembuh, tidak salah bila akhirnya aku memilih untuk bertahan 
Melangitkan doa-doa dengan terus berikhtiar

Memaksa hati untuk berdiri, akan memusnahkan penduduk bumi.

Kau tau harapan mereka saat berlayar? 
Tetap biarkan laut dan langit terhampar
Meski taruhan nyawa harus melayang.

#Stayathomeefek
Cairo, 30 Maret 2020.

Maret 24, 2020

,
Oleh: Fadal Mohamad 

Sore itu, senja menampakkan karisma cantiknya, gagah dan mempesona, dalam hatinya seakan ingin berkata-kata pada bumi: "wahai bumi, janganlah kau bersedih meskipun kau ditimpa berbagai macam musibah," lirihnya. Bumi hanya senyum-senyum kecil tak menanggapi. Pada dirinya ada kepercayaan dan keyakinan yang mungkin tak dimiliki oleh senja yang hendak tenggelam itu. 

Dikira bumi sudah menampakkan kecemasan dan kegalauan tinggi, menghadapi apa yang telah terjadi. Namun itu hanya fiktif belaka yang dimunculkan oleh otak-otak tak bertanggungjawab dari sang senja atas tuduhanannya. Bumi hanya diam, melihat dari kejauhan orang-orang terbirit-birit merasa cemas. 

Ada dorongan kuat pada perkataan dari sang senja, ia melihat fenomena yang belum pernah dilihat pada sore itu; di mana bumi penuh dengan keramaian, kesibukan, dengan sekejap menjadi bisu, sepi. Seakan bumi ingin sekali beristirahat dari pelbagai macam drama hidup yang manusia lakukan. Hal itu yang membuat senja merasa iba dengan keadaan bumi. Dengan nada tenang bumi pun berkata menanggapi: "ini bukan bencana, hanya cobaan pada kita untuk mengingat Sang Pencipta," jelasnya. Pun senja melihat sikap bumi kebingungan. 

Melihat hal ini, perbedaan tipis terjadi. Kegelisahan yang ditampakkan senja dengan kepercayaan bumi menghadapi cobaan yang terjadi. Ya, pada sikap di mana keduanya di hadapan fenomena itu. "Ada keyakinan bahwa ada kekuatan besar di balik ini semua," kata bumi. Kata-kata yang begitu dalam, melihat dari sebuah bencana terpandang olehnya hanyalah cobaan dan kasih sayang Tuhan terhadap dirinya. Dan juga ada kecemasaan senja melihat itu semua adalah bencana. 

“Agar cobaan terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allah lah yang memberimu cobaan. Zat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Zat yang selalu memberimu pilihan terbaik.” Seakan kalam Ibnu Athaillah begitu tertanam dalam batin sang bumi. Dia percaya bahwa itu semua dari kekuatan besar itu. Ada keyakinan kuat pada diri sang bumi.

Sikap berbeda antara keduanya lambang keadaan mereka berdua bersama Tuhan. Senja, melihat hal yang terjadi adalah sebuah bencana, sedangkan bumi melihat hal tersebut sebagai alarm hebat untuk sejenak ingat pada Sang Pencipta seluruh alam. Mungkin dari sini bisa dilihat sikap kedalaman cinta bumi pada Sang Pencipta, begitu jauh, dalam, sampai-sampai sang senja tidak mampu bersikap sama dengan sang bumi.

Melihat sikap senja, teringat pada kalam hikmah: “siapa saja yang mengira kelembutan kasih Allah terpisah dari takdir-Nya, maka itu terjadi karena keterbatasan pandangannya." Mungkin keterbatasan itulah motivasi pertama senja mengatakan hal itu. Namun, senja tidak patut disalahkan, karena bisa jadi hal ini menjadi batu loncatan menuju cinta yang dalam itu. 

Tak lama kemudian, keheningan muncul pada sore itu, senja hanya tersenyum manis pada bumi sambil menunggu gelap datang, seakan ada sesuatu energi tertancap pada dirinya; kekuatan besar. Ada rasa berbeda yang ia rasakan, yang mungkin tidak akan pernah ia temui lagi pada kesempatan setelahnya. Ada rasa cinta yang dalam di balik kecemasan yang ia buat sendiri. Pada akhirnya, gelap pun tiba, ada sedikit kata terlontar dari bibirnya: "terima kasih bumi atas ingatan cintamu pada Sang Maha Cinta". Sekian. 

Percakapan antara senja dan bumi hanya tokoh fiktif belaka, pada akhir kata penulis ingin mengatakan: "perbedaan cara pandang orang melihat suatu fenomena musibah itu sebagai azab dan hukuman dengan orang yang melihatnya sebagai cobaan, terletak pada keadaanmu bersama Sang Pencipta."

Maret 20, 2020

,
Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Puisi menurut KBBI di hp saya adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan larik dan bait. Atau bisa juga, gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang dalam pengalaman membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makan khusus. 

Ini dua gambaran puisi dari KBBI di telpon saya. Dalam tulisan ini saya membuka; apa itu puisi, untuk memberi gambaran awal sudut pandang saya pada puisi. 

Mulai bersinggungan dengan puisi masa-masa Mts-MA, waktu itu saya langganan baca Mading milik OSIS Mts dan MA. Jika tidak salah ingat, di situ ada rubrik sajak-sajak yang memuat puisi-puisi para santri. Masih awal-awal lumayan mudeng bacanya. Penilaian saya: puisi terlalu lama dan rumit bermain-main dengan kata yang sukar dimengerti. Lama-lama jadi sudah terbiasa, terbiasa tidak mengerti. Ya, sudah pindah mazhab saja. Setelah itu pindah ke mazhab cerpen dan novel. Di sana minat baca saya tumbuh. 

Sejak itu, saya mundur alon-alon dari puisi. Pikirnya, kok buang-buang waktu saja, membaca hal yang tak berfaedah bagi saya. Puncak 'benci' ini pada puisi, saat salah seorang kawan, tentu ia pengagum puisi—entah pengagum sungguhan atau pengagum kaleng-kaleng—berkata begini: "Puisi semakin sulit dipahami, itu artinya nilai sastranya kian tinggi." Saya tak tahu itu, apa hanya dibuat candaan atau memang adanya demikian. Pada intinya, saya tersinggung dengan ucapan kawan itu. "Kok ya bisa-bisanya, hal yang tak dimengerti pembaca punya nilai sastra yang tinggi," gerutu saya waktu itu. "Saya rasa, saya ini adalah orang penikmat kata-kata indah. Tapi, maaf tidak saya temui itu dalam dunia puisi," pembelaan lanjutan pada diri saya. 

Sekian lama puisi punya citra kurang baik dalam pikiran saya, baru kali ini tertarik untuk mendengar dan membaca puisi lagi. Jika hendak diurut dari awal, saya mulai tertarik lagi pada puisi, saat berkali-kali terkagum-kagum gubahan puisi Gusmus. Tapi tidak jadi saya teruskan, kenangan (sudut pandang) masa lalu masih mendominasi. Puisi tidak lebih hanya permainan kata-kata membingungkan mitranya bicaranya.

Sampai tiba waktu, saya dipertemukan dengan sosok yang tak asing di dunia puisi, Joko Pinorbo namanya, atau akrab dipanggil Jokpin. Sosok ini yang mengambilkan minat saya pada puisi. Puisi bukan lagi sekadar tentang permainan kata-kata ambigu, tanpa makna, melainkan ia merupakan karya sama seperti karya-karya sastra lainnya —sejauh mana ia mampu mempengaruhi lawan bicaranya hingga akan melahirkan dampak positif.

Jokpin memahami betul, sebenarnya ada yang minat puisi, meski setengah hati, tapi ya, itu tadi, kata-kata dalam bait puisi kadang masih kesulitan menyampaikan pesan dengan jelas dan lugas. Angkanya kian kempes, sebelum akhirnya mengembang kembali.

Riilnya, masa awal-awal jarang (tidak sebombastis karya sastra lainnya, semisal novel) dalam urusan penerbitan, ditambah lebih rumit lagi di urusan pemasaran. Jokpin ingin menggunting ini, menurutnya, sudah waktunya puisi setara dengan karya sastra lain, ia mudah diterbitkan dan mendapat sambutan dari pembacanya. Puncaknya orang jadi kepincut kepada puisi.

Untuk mewujudkan cita-citanya ia melakukan apa yang disebut desakralisasi puisi. Puisi bukan lagi tentang embun, mentari, senja ataupun malam. Ia mulai memasukkan kata-kata remeh-temeh atau receh ke dalam dunia puisi, semisal toilet, kamar mandi, bahkan kata asu atau anjing pun tak ketinggalan.

Berangkat dari upaya tersebut, ciri puisi-puisi Jokpin tidak menari-mari dalam kegenitan kata-kata. Sehinggga pesan yang ingin disampaikan benar-benar berhasil diserap oleh pembaca. Menurut saya, seyogianya demikian, untuk apa-apa bermain-main kata jika tidak melahirkan dampak positif. Tentu tidak semua harus setuju pada pandangan ini.

Kendati demikian, puisi tetaplah puisi, tak akan bergeser ke mana. Ia akan tetap ada, sebagaimana takdir melahirkannya. 

Apa yang saya ceritakan di awal tulisan ini, hanya sudut pandang dan pengalaman pribadi bersama puisi. Besar kemungkinan, orang yang saya dengar berbicara tentang puisi, sebenarnya ia tidak paham puisi—sama sekali puisi tak terwakili oleh ucapannya. 

Menuliskan ini, dalam rangka menumbuhkan kembali cinta yang sempat saya kubur dalam-dalam. Hikmahnya, jangan pernah membenci curah hujan, hanya karena tempat sujudmu hari ini kebanjiran, sebab akan datang waktu, kamu tak lagi mampu bersujud sebab dirimu telah kehilangan setitik curah hujan.



Maret 17, 2020

,
Oleh: Zis Hakim 

Na, sebelum aku mengenalmu. 
Aku bersama damai, aku mampu menyelesaikan semua urusan, dunia adalah milikku, segala kebutuhan ada di tanganku. 
Aku biasa mengatakan hitam sebagai putih atau putih sebagai warna yang lain, hanya agar aku sampai pada ingin.
Na, kamu berhasil membuatku untuk tidak percaya kepada diriku. Tak lagi berakidah bahwa dunia adalah segalanya.
Ada yang tak bisa sepenuhnya kucerna.
Ada yang tak bisa ku pahami secara sempurna.

Na, sebelum kamu terkenal dan ratingmu melambung melebihi artis papan atas, aku masih menyembah diri sendiri. Membenci yang tak sepaham, menyalahkan yang sekiranya mengancam, atau membahayakan, membunuh segala  yang buat kedudukan tergoncang.
Aku usir siapapun yang tak aku suka; tanah, air, api, bahkan angin.
Iya, Na, semuanya tidak lain hanya demi menaati sang ingin.

Tahun 2020 ini adalah milikmu Na, semua orang mendzikirkan namamu.
Mereka yang biasa ngantor di sawah atau yang biasa membajak gedung-gedung tinggi atau mereka yang bahkan tidak peduli pada teman sekarirmu atau bahkan anak kecil yang serius main robot-robotan pun tahu Na, tahu bahwa kamu ada, menggerutu lalu mendukungmu untuk tiada.

Aku mendawamkan takut yang khusyuk malah kepadamu, aku menghayati khawatir untuk tidak berhasil malah karenamu, aku lupa diriku, aku acuhkan tuhanku, aku malah ingat dirimu.

Na, mewakili seluruh penduduk bumi aku harap kau mengerti, bahwa hadirmu tak membuat kami menjadi lebih baik lagi.
Cukup Na, kami ingin sekolah, ingin kuliah, ingin belajar, ingin menjalani semuanya dengan wajar. Na, seharusnya tak perlu lagi ada korban, jika memang kau diciptakan oleh Tuhan.

Kairo, 14/02/2020

Maret 16, 2020

,
Ahad, 15 Maret 2020 mengadakan silaturahmi bulanan yang disampuli dengan: 2 Dekade Bersama FOSIKBA, dengan tema: "Meneguhkan Spirit Kebersamaan". Acara ini ditempatkan di sekretariat FOSIKBA dan dimulai tepat pada jam 04.00 Clt.

Acara silaturahmi kali dikemas berbeda dari sebelumnya, yaitu mendatangkan para sesepuh FOSIKBA dari angkatan 2004 - 2010 guna menceritakan perjalanan FOSIKBA dari masa ke masa, di antaranya oleh Ust. Abdul Halim Lc., MA. Angkatan 2004, Ust. Khotibul Umam Lc. Angkatan 2007, Ust. Lukman Fayad Lc. dan Ust. Sutrisno Dahlan angkatan 2010.

Dari mereka semua memiliki kesan yang sama, yaitu makna solidaritas yang terus melekat pada diri FOSIKBA. Merangkul dan juga saling membantu dan munculnya rasa kepedulian kebersamaan.

"FOSIKBA yang saya kenal adalah rasa solidaritas tinggi yang sudah tertanam pada diri mereka. Semoga rasa ini semakin bertambah dan semakin bertambah lagi," tegas salah di antara mereka.

Selain itu, mereka mengingatkan akan kesehatan dan tetap akan tujuan belajar kita untuk berada di bumi para nabi ini. 

"Yang perlu diperhatikan adalah kesehatan dan ilmu. Apabila kita tidak sehat bagaimana kita akan fokus terhadap tujuan kita," pesan Ust. Khotibul Umam. 

Terlebih pada kasus wabah yang menyebar di seluruh dunia saat ini, yaitu corona. Mereka menghimbau untuk senantiasa hati-hati dan berdoa agar diselamatkan dari virus tersebut.

Cerita demi cerita yang mereka curahkan tidak lain untuk memberi semangat akan saling menjaga solidaritas antar anggota. Bukan untuk mempertahankan, akan tetapi untuk menjadi lebih bertambah dan semakin bertambah.

Pada acara terakhir ditutup dengan dengan doa yang dipimpin oleh Bukhori Muslim Lc.

Maret 10, 2020

,


Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Manusia terdiri dari 2 unsur: jasad dan ruh. Hampir tidak ada yang menyangkal kenyataan ini. Dua-duanya butuh energi untuk bergerak, atau mudahnya, ia butuh makan. Jasad diciptakan dari tanah/bumi, maka jenis makanannya ada di sana. Tak usah saya beri tahu bagaimana manusia memberi makan jasadnya.

Manusia tidak diberi tahu banyak mengenai hakikat ruh. Ia hanya tahu setiap jasad manusia pasti ditopang oleh ruh. Jasad tidak berdiri sendiri. Ketika Allah berbicara ruh, ia menisbahkan pada zat-Nya. Jadi, jenis makanan yang dibutuhkan ruh kembali pada asalnya dari mana diturunkan.

Satu-satunya cara manusia memberi makan ruh dengan banyak merenung, menghayati keagungan Allah melalui ciptaan-Nya yang sangat indah dan teratur. Ruh ditugaskan oleh tuannya membantu manusia mencapai tujuan kehadirannya di persada ini.

Manusia tidak diciptakan dengan kesia-siaan. Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi.

Bagaimana ruh memainkan perannya? Itu mungkin bagian dari pertanyaan yang terlintas sementara orang. Jawabannya mudah sekali, khususnya kalian yang suka travelling. Coba ingat-ingat, ketika kalian sedang di taman, di hadapan hamparan bunga-bunga segar nan cantik. Mari ingat-ingat lagi, saat kalian berada di puncak gunung dengan udara sejuk dan pemandangan alam amat mempesona. Mari pasang lagi memori saat kalian di pantai, memandangi laut nan jauh di sana, terutama detik-detik mentari menyingsing di ufuk timur dan saat menjelang pulang menjemput malam. Indah bukan?

Saya tanya: apa yang kalian rasakan ketika itu? Tentu senang dan bahagia kan! Rasa itu menyusup pada jiwa kalian, tanpa kalian sadari dari mana ia datang. Aneh, bukan? Jika boleh saya kemukakan, saat itu ruh sedang memainkan perannya. Ia sedang mengajak kita berbicara untuk menggerakkan unsur yang paling berharga yang dimiliki manusia, ialah akal. Akal hanya diperuntukkan pada jenis makhluk Allah yang bernama manusia untuk digunakan sebagaimana mestinya, sebagai bentuk syukur atas anugerah-Nya. Ruh memulai percakapannya: “Itu loh, bunga-bunga yang super indah dengan semerbak bau harum, gunung-gunung yang kokoh, hamparan alam hijau, lautan dan seisinya serta pemanfaatannya, langit tinggi menjulang, matahari yang tak lelah menyinari bumi, tepat waktu pula. Taukah kamu siapa yang menciptaan itu semua?”

Ruh tak mampu berbuat banyak. Ibarat pesan WatsApp setelah ia terkirim, kemudian muncul centang dua warna biru pertanda pesan itu dibaca. Dibalas atau diabakan kembali pada personalnya.

Tiap manusia punya kemampuan berbeda-beda mendengar dan merespon percakapan dari ruh ini. Semakin sering ia diberi makan, semakin keras suaranya sehingga lebih mudah meresponnya. Sebaliknya, jika ia terabaikan suaranya menjadi lemah, dan mungkin saja suaranya tak terdengar sama sekali. Jika sudah begini, bagaimana mungkin mitra bicaranya mampu merespon. Sulit.

Jika ingin lebih lanjut mengetahui bagaimana para orang-orang hebat memberi perhatian khusus pada eksistensi ruh, dalam dunia sufi ada istilah dikenal dengan khalwat atau uzlah. Ketika ditelusuri lagi, ternyata tradisi khalwat ini, atau bahkan yang memulai terlebih dahulu adalah Nabi saw. Kitab-kitab sejarah mencatat: ketika beliau menginjak usia 40 tahun, ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia.

Bukti lain pentingnya uzlah ini, tak asing bagi kawan-kawan yang memiliki tradisi kuat ziarah pada para wali dan ulama akan menjumpai jejak khalwatnya. Di komplek pemakaman Sidi Ibnu Athaillah, misalnya, setidaknya ada dua jejak khalwat wali besar pada zamannya: Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud.

Indikasi kuat bahwa uzlah ini diperuntukkan untuk ibadah zikir merenungi keagungan Maha Pencipta, dipilihnya tempat yang benar-benar jauh dari jangkauan orang-orang, di lereng gunung misalnya, seperti yang dilakukan Sayyidah Nafisah dan Syekh Abdul Halim Mahmud ini. Rasulullah pun demikian, memilih gua Hira’ sebagai tempat uzlahnya.

Pada gilirannya akan berkata, kebutuhan jasmani dan rohani harus sama-sama terpenuhi supaya kehidupan ini tetap berjalan baik. Ketangguhan fisik murni dibutuhkan karena kita seorang pekerja yang diamanahi tugas membangun dan memakmurkan bumi. Tak mengagetkan jika Nabi berkata: “Mukmin yang sehat lebih Allah cintai dari mukmin yang pesakitan.”

Kekuataan spritual menjadi penting, agar manusia tidak melalaikan tugasnya. Karena dalam jiwa manusia ada pontensi untuk lengah dan lalai terhadap kewajiban yang diembannya. “Dirikanlah salat (sebagaimana semestinya) untuk mengingatku,” demikian bunyi perintah Allah. Salat didirikan untuk mengingat Allah yang telah mengamanahkan aneka tugas pada hamba-Nya. Dengan demikian, dalam sehari mimimalnya 5 kali manusia wajib menghadap majikannya.

Maret 06, 2020

,
Dalam hidup pasti kita merasakan apa yang dinamakan cinta. Karena hal tersebut memang telah menjadi fitrah dan naluri setiap makhluk yang bernyawa—baik cinta pada sesama, bahkan cinta pada Sang Pencipta.

Berbicara cinta memang sudah tidak asing di telinga. Kata sederhana yang mudah diucap dan teramat sangat berat dalam pijak. Kalau kita melihat ungkapan Syekh al-Fadhil dalam kitab Qomi’ut al-Tughyan: “Ketika dikatakan kepadamu: apakah kamu mencintai Allah? Maka hendaklah engkau diam, karena jika kamu mengatakan 'tidak', maka kamu telah kufur. Namun jika kamu mengatakan ’iya’, maka kamu bukan termasuk orang-orang yang cinta (kepada Allah).”

Dari ungkapan Syekh al-Fadhil kita belajar tentang kehati-hatian serta nilai berharga dari pada cinta. Ia bukan hanya ucapan kosong melainkan perbuatan nyata.
Dan di kitab yang dikarang oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Hatim bin Alwan menguatkan: "Barang siapa mengaku-ngaku atas tiga hal tanpa adanya tiga hal yang lain, maka ia dinilai berbohong. Pertama, barang siapa yang mengaku mencintai Allah namun tidak menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka ia telah berbohong. Kedua, barang siapa yang mengaku mencintai Nabi saw. tanpa mencintai orang-orang fakir, maka ia telah berbohong. Ketiga, barang siapa mengaku mencintai surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia telah berbohong.

Di sisi lain masih dalam kitab yang sama, Imam Sahl mengemukakan tentang cinta dan ciri-ciri orang yang bersangkutan, sebagai berikut:
"Ciri-ciri  orang yang cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur’an. Ciri-ciri orang yang cinta al-Quran adalah cinta kepada nabi Muhammad saw. Ciri-ciri cinta Nabi Muhammad saw. adalah cinta pada Sunahnya. Ciri-ciri cinta pada sunah Nabi saw. adalah cinta pada akhirat. Ciri-ciri cinta akhirat adalah benci terhadap dunia dan ciri-ciri benci dunia adalah dengan tidak mengambil suatu yang berbau duniawi sebagai bekal untuk menuju akhirat.”

Dengan hati yang bersih, keberadaan cahaya iman menyebabkan setan takut mengelilinginya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: "Jikalau setan-setan tidak mengelilingi hati anak-anak Adam, niscaya mereka dapat memandang alam Malakut yang tinggi." [HR. Ahmad]

Terlepas dari semua tulisan yang kebanyakan mengutip dari kitab Qomi’ut Tughyan ini, mari sama-sama kita intropeksi diri. Apakah cinta kita sudah benar-benar dikategorikan cinta atau hanya bual belaka. Sebab hanya dengan cinta yang sesungguhnya keindahan akan tercurah dengan seutuhnya.

Tabik,

Fath Rosi Ahmad

Maret 02, 2020

,
Tidak jarang kita dengar istilah mukjizat, namun sejauh mana kemampuan kita memahami istilah tersebut. Bahkan untuk merasionalkan pun sukar sekali karena memang kejadiannya di luar nalar. Satu-satunya mukjizat terbesar yang masih utuh keasliannya sampai saat ini adalah al-Qur'an. Disebut mukjizat terbesar karena al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Salah satu bukti lain bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar adalah Allah yang menurunkan al-Qur'an maka Allah yang menjaganya dari segala bentuk perubahan.


Al-Qur'an diturunkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau ada pertanyaan yang sekiranya butuh jawaban, maka turunlah ayat al-Qur'an untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur serta penataan ayat dan surah dalam al-Qur'an yang tidak sesuai pasca awal turunnya bisa kita cari hikmah di balik penataan serta peletakan ayat-ayat dalam al-Qur'an. Apakah ada kesinambungan antar ayat sebelum dan sesudahnya atau antar surah sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebut dengan ilmu Munāsabat Baina Suar wal Āyāt.

Ilmu Munasabat sendiri jarang disinggung oleh para mufassir karena saking detailnya ilmu tersebut, bagaimana mungkin al-Qur’an merupakan kalam ilahi,sudah barang tentu semua hal yang tercakup dan berhubungan dengan al-Quran ditetapkan oleh Allah SWT. Dari ketetapan itu pula para mufassir mencoba memahi dan membahas al-Quran dari berbagai aspek, sehingga tidak pernah berakhir untuk dibahas, sebagaimana ungkapan Syekh Abdullah Darraz: “Al-Qur’an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya.” 

Sebelum lebih lanjut mengenal munasabat, alangkah baiknya jika kita mengetahui makna munasabat itu sendiri.
Munasabat secara etimologi berarti Musyākalah (keserupaan) dan Muqarabah (kedekatan). Secara terminologi Munasabat berarti korelasi antara ayat dan ayat atau surah dan surah—sebelum dan sesudahnya, karena adanya keserupaan atau kedekatan lafadz atau makna.

Di antara hikmah mengetahui ilmu munasabat adalah memahami makna al-Qur'an dan mempermudah untuk menafsirkan ayat sesuai dengan temanya. Ada banyak macam-macam musabat dalam al-Qur'an. Namun, saya cukupkan menyebutkan satu contoh. Saya pikir sangat menarik untuk dikemukakan, yaitu: munasabat antar awal surat dengan akhir surat yang sama.

Zamakhsyari berkata: "Allah Swt. mengawali surah al-Mukminun dengan ayat: قد أفلح المؤمنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لا يفلح الكافرون. Dalam surah Nun Allah Swt. memulai dengan ayat: ما أنت بنعمتك ربك بمجنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لمجنون. 

Dan juga pembandingan antar surah al-Kautsar dengan surah sebelumnya (al-Ma'un). Allah Swt. menyifati munafik dalam surah al-Ma’un dengan empat perkara, yaitu: al-Bukhl (kikir), Tarku as-Sālah (meninggalkan shalat), Riyā' (beramal karena orang lain) dan Man'u az-Zakāh (tidak bayar zakat). Allah bandingkan sifat kikir dengan ayat: إنا أعطيناك الكوثر. Orang yang meninggalkan salat dibandingkan dengan ayat: فصل. Sifat riya' dibandingkan dengan ayat: لربك. Dan orang yang tidak bayar zakat dibandingkan dengan ayat: وانحر dengan bersedekah daging kurban.

Dari contoh munasabat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar dengan penataan ayat serta surahnya. Bukan sebatas asal meletakkan, melainkan atas perintah Allah Swt.  kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan riwayat Ustman bin Affan. Suatu hari turun sejumlah ayat kepada Rasulullah. Kemudian ia memanggil sekretarisnya dan berkata: "Letakkan ayat ini bersama dengan ayat itu, dan surah ini bersama surah itu." 

Artinya, peletakan atau penataan ayat-per-ayat dan surah-per-surah murni Tauqifi dari Allah Swt. Tidak ada campur tangan makhluknya. Rahasia keserasian antar ayat dan surah hanya diketahui bagi orang-orang yang belajar dan mendalami ilmu-ilmu al-Quran.

Tabik,

Dhaifil Ihsan

Februari 27, 2020

,

Saat pagi hari aku di rumah bertemu seorang nelayan, dengan membawa jaring yang dia taruh di atas pundaknya, dan terdapat ikan yang besar hasil tangkapan hari ini, dengan wajah penuh lelah dia mendatangiku sambil menawarkan ikannya kepadaku, tanpa saya tawar saya ambil ikan itu sesuai dengan harga yang dia pasang, sambil tersenyum dia mengambil uang dan berucap terimakasih sambil berkata “Ini baru pertama kalinya ada orang yang mau membeli dengan harga yang saya pasang, semoga kebaikan anda dibalas dengan kebaikan sebagaimana anda telah baik kepadaku, dan semoga Allah jadikan kebahagiaan dalam jiwa dan hartamu”. saya pun sangat bahagia dengan doa ini dan berharap pintu langit terbuka untuk mengabulkan doanya.
Heran dan takjub memenuhi hati ini, bagaimana dia bisa tahu suatu hakikat yang tidak banyak orang mengetahuinya yaitu "ada kebahagiaan jiwa" dan "ada kebahagiaan harta".

“Apakah ada kebahagiaan selain kebahagiaan harta?” tanyaku.
Diapun tersenyum sinis dan berkata ”seandainya kebahagiaan hanya terbatas dengan harta maka saya adalah orang paling menderita di dunia ini”.
“ Apa kau anggap dirimu bahagia?” tanyaku.
Dia menjawab “iya, karena aku selalu mencari rezekiku, kehidupanku bisa dibilang cukup, aku tak pernah merasa sedih karena kekurangan rezeki serta aku pun tak pernah mengemis di tengah kemegehan dunia. Kemudian dari pintu yang mana kesedihan dan kesengsaraan merasuki hati yang penuh dengan kebahagiaan?”.
“Apa kau sudah tidak waras! bagaimana kau anggap dirimu bahagia sedangkan kau berjalan tak beralas kaki, dengan baju yang bisa dikatakan kurang layak pakai, bagaimana bisa kau anggap dirimu bahagia?” jawabku mengingkari.
Dia menjawab” Jika kebahagiaan adalah tenangnya hati dan kebahagiaan jiwa, adapun kesedihan adalah sakit hati dan gundahnya jiwa, maka saya adalah orang yang paling bahagia, karena saya tidak pernah beranggapan bahwa pakayan kusut dan makanan seadanya adalah sebuah kesedihan dan kesengsaraan, dan jika ada kebahagiaan selain itu maka hanya itulah kebahagiaan yang saya tau”.
Aku pun membantah “Apa kau tidak sedih setiap kali melihat orang kaya? pakaian bagus, kendaraan mewah serta rumah megah, para pelayan serta makanan lezat yang setiap hari mereka santap, apakah kau tak merasakan perbedaan besar ini?”.
Dia menjawab “Semua hal itu adalah hal yang sangat sepele bagiku, saya fikir kebahagiaan mereka tidaklah berbeda dengan kebahagiaan yang saya dapatkan. Makanan? jika tujuan makan cuma untuk kenyang, rasanya tak pernah saya tidur dengan perut kosong, jika maksudnya memuaskan nafsu, maka saya gak makan kecuali dalam keadaan lapar, jadi semua makanan terasa lezat bagiku, kalau soal makan kita gak jauh beda lah. Rumah mewah?, saya punya gubuk kecil, saya tidak pernah merasa gubuk kecilku terasa sempit untukku, istri dan anak-anakku bahkan terasa begitu megah dengan kebahagiaan yang menyelimuti mereka. Kendaraan?, saya pemilik kendaraan termewah di dunia, saya punya dua kaki yang tiap hari saya langkahkan untuk mengais rezeki dan mendapat ridha ilahi. Jika mengenai liburan; maka saya adalah orang yang tiap hari berlibur, cukup dengan membawa kail dan umpan berangkat ke lautan luas yang biru, burung bangau serta pantai yang dikelilingi tanaman hijau ditambah dengan sinar emas mentari membuat hati terasa sejuk, pemandangan seperti ini saya lihat setiap hari dimana tidak semua orang dapat melihatnya, orang miskin berjalan sesuka hati mereka, bagaikan burung yang terbang bebas. Sedangkan orang kaya dimanapun mereka berada mereka selalu diawasi oleh mata orang-orang yang iri dan dengki. Serta sebelum mereka pergi kemanapun mereka tak lupa berdiri di depan cermin untuk memastikan penampilan mereka dan menutupi kepribadian mereka dengan penampilan penuh wibawa. setelah bercermin, mereka keluar dan bergerak dengan gerakan yang terbatas karena takut akan rusaknya penampilan mereka dan hancurnya wibawa mereka, meskipun mereka bebas sebenarnya mereka terkurung oleh penjara kewibawaan dan penampilan dan selalu diawasi oleh mata yang dipenuhi rasa iri dan dengki.

Seharian penuh saya berada di tengah lautan dan saya kembali dengan membawa hasil tangkapan untuk dijual di pasar, ketika menjelang malam saya kembai ke rumah dengan di sambut hangat oleh senyuman istri dan tawa anak-anakku. setelah menunaikan kewajibanku sebagai kepala keluarga segera ku tunaikan kewajibanku sebagai hamba, dan akupun tertidur pulas di atas tikar yang terasa seperti ranjang yang sangat empuk. Jujur saya tidak menerima jika dikatakan saya adalah orang yang menderita, karena sebenarnya saya adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Mau tau perbedaan tipis antara diriku dan orang kaya, yaitu orang-orang tidak tunduk hormat padaku ketika aku lewat, dan mereka tidak pernah memperhatikanku ketika aku bersama mereka dan hal ini gak begitu penting bagiku, apa peduliku terhadap mereka? mau di perhatikan ataupun tidak selama tidak ada hubungan denganku dan tidak ada hubungan dengan kewajibanku sebagai hamba tidak ada pengaruhnya bagiku. Karena hubunganku yang sebenarnya adalah hubungan diantra diriku dan tuhanku, aku adalah hambaNya maka aku harus beribadah dan mengesakanNya. Terus terang hatiku tidak bisa menggabungkan keesaan Tuhan sedangkan di hatiku masih ada keagungan dari salah satu makhluknya.

Setiap kali aku keluar rumah, aku selalu membawa perasaan ragu akan kah aku akan kembali dengan membawa atau aku kembali dengan dibawa. Dunia ini ibarat lautan, dan manusia adalah ikannya, dan mailaikat maut adalah nelayan yang setiap waktu membawa kail, dan yang terpancing adalah orang yang dipilih untuk kembali kesisi tuhannya, dan orang yang selamat hari ini belum tentu selamat hari isok. Terus bagaimana mungkin aku bahagia dengan sesuatu yang bukan milikku. Bahagia terhadap titipan yang setiap saat bisa diambil kembali oleh pemiliknya. dan untuk apa saya berpegang terhadap sesuatu yang rapuh, kalau begitu maka aku adalah orang yang paling bodoh didunia.” penjelasan nelayan dengan panjang lebar.

Aku tercengang dan berbisik dalam hati “begitu bijak orang ini entah pendidikan apa yang dia lalui tapi dia menjelaskannya dengan panjang lebar. Aku iri terhadap kejernihan hati dan kebahagiaan dalam setiap detik kehidupannya” akupun melanjutkan pembicaraan “bapak! semua orang selalu mencari yang namanya kebahagiaan, tapi mereka tidak pernah mendapatkannya, sehingga mereka berkesimpulan bahwa, "kesedihan merupakan bagian dari kehidupan ini”.
Dia menjawab “Tidak!, secara fitroh manusia itu bahagia, tapi orang itu sendiri yang memasukkan kesedihan dalam jiwanya. Mereka memiliki hasrat untuk kaya sehingga mereka selalu beranggapan bahwa kaya itu merupakan suatu kebahagiaan, memiliki ambisi dan beranggapan bahwa mendapatkan apa yang dia inginkan merupakan haknya Sehingga ketika gagal mendapatkannya maka dia berdoa seakan-akan dia didzalimi dan direnggut haknya. Terlalu bahagia terhadap titipan sang pencipta, sehingga dia merasa bahwa itu adalah miliknya dan ketika diambil titipan itu dia beranggapan bahwa telah dirampas apa yang telah menjadi miliknya.

Sebenarnya kesedihan itu muncul dari dalam diri kita sendiri, ketika hati kita tidak dihiasi dengan kebaikan maka kegelapan akan merasukinya dan timbullah sikap iri yang selalu menyakiti pemiliknya, dan timbullah sifat tamak, yang semakin hari semakan melukai hati. Serta timbullah penyakit dengki yang tiap hari menusuk hati kita. maka siapapun yang ingin mencari kebahagiaan maka carilah didalam dirinya”.

Tak terasa obrolan kami sudah sangat jauh. Kemudian sang nelayan mengambil tongkatnya dan berucap “sampai ketemu lagi tuan, saya doakan kamu dengan doa yang saya sukai semoga Allah jadikan kebahagiaan di dalam jiwamu sebagaimana kebahagiaan di dalam hartamu, assalamu alaikum!”
kisah diambil dari kitab al-nadzarat lilmanfaluthi

Tabik;

Khoirut Tuqo


Februari 26, 2020

,
Telah diketahui bersama bahwa kita telah berada di era teknologi yang mana semua informasi sebagian besarnya tersebar luas dengan cepat ke berbagai pelosok. Media cetak atau online menjadi salah satu wadah dalam menuangkan informasi tersebut. Untuk mengirim surat kabar antar negara misalnya, tidak perlu waktu lama, cukup satu klik sudah sampai ke tujuan. Berbeda dengan tempo dulu tepatnya 50 tahun silam, dalam keadaan itu sebuah surat bisa sampai dengan waktu yang berbulan-bulan.

Anehnya, dalam situasi seperti sekarang masih saja ditemui beberapa orang yang menyalahgunakan keberadaan teknologi yang luar biasa ini. Mereka menjadikan itu sebagai niat buruknya, melukai lawan, memalsukan informasi bahkan memutarbalikan fakta agar publik menjauh dari hal yang sebenarnya. Itu terjadi sebab dalam diri mereka sudah tak ada maksud lain selain amarah dan dendam yang tak kunjung reda.

Oleh sebab itu, kita ataupun siapapun kamu yang suka mengkonsumsi informasi, di media sosial khususnya (Fb,Wa,IG,Twitter) agar lebih bijak dalam menanggapi hal tersebut. Tidak mudah percaya dan mengambil keputusan sebelum meneliti lebih jauh terkait informasi yang tersebar. Parahnya lagi di antara warganet malah ada yang seenaknya mencibir dan mengolok-olok saudaranya sendiri sebab dia tak satu pemahaman dengannya.

Sebenarnya jauh sebelum era ini datang Islam telah mewanti-wanti para warganya agar lebih bijak dan meneliti kembali informasi yang tersebar, apalagi jika hal itu datangnya dari mereka yang tergolong fasik. Tidak hanya itu Islam juga memberikan batasan dalam menanggapi adanya suatu informasi agar nantinya nilai kebaikan dan manfaat tetap terkandung dalam informasi tersebut.

Di sini penulis akan menyebutkan tiga batasan yang ditentukan agama dalam menanggapi suatu informasi, berikut ulasannya:

Pertama: Informasi yang mau disebarkan haruslah berupa suatu hal yang berguna dan bermanfaat. Jadi tujuan awal dalam informasi sebenarnya untuk memberikan hal yang baru dan berfaedah kepada orang lain. Memberi kabar bahwa musim hujan akan segera datang, biaya pendidikan di kampus akan diturunkan. Intinya dalam informasi tersebut terkandung suatu kebaikan.

Kedua: Meneliti dan memastikan terlebih dahulu informasi yang diterima terlebih apa yang menjadi perbincangan hangat di medsos, khususnya lagi berkaitan dengan persoalan agama. Teliti dahulu apakah sesuai dengan aturan Syariat? Jika tidak tahu jawabannya maka bertanyalah pada yang ahli jangan mudah dipercaya sebab yang menyampaikan informasi itu adalah ustadz A yang sudah terkenal dan banyak yang membagikan psotingannya. Bisa jadi apa yang disampaikannya belum tentu benar atau bisa juga hanya berlaku untuk dirinya sendiri.

Ketiga: Membuang sifat fanatisme (ta’assub) terhadap suatu hal tanpa menerapkan poin yang kedua di atas. Dalam hal ini sudah banyak terjadi di sekitar kita seperti ungkapan yang tertera di salah satu media sosial: “Saya yakin bahwa yang mengikuti pendapat itu salah sebab dalam ajaran kami tak ada hal yang semacam itu.”Jika kita tetap bersikokoh memakai jubah kefanatikan dan tak pernah rela menerima suatu perbedaan, maka akan tercipta pertengkaran, saling hujat sana sini, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Kalau tetap saja begini kapan Negara kita akan maju, kapan keilmuan kita akan tumbuh dan berkembang?

Akhiran, semoga kita tidak tergolong dengan mereka yang mudah menyalahkan, merasa benar sendiri, dan tak mau berfikir lebih dalam terkait persoalan tertentu. Ini semua akan tercapai jika kita mulai dari diri kita sendiri sehingga nantinya akan tercipta perilaku yang baik, ketentraman bersama dan saling menghargai tanpa ada yang melukai lagi.

Tabik, 

Moh. Syamsul Arifin

Februari 24, 2020

,
Sekian lama menunggu, Divisi Kajian FOSIKBA (Forum Silaturrahmi Keluarga Besar Al-Khairot) Jum'at, 21 Februari 2020, mulai beraktifitas kembali pasca ujian termin 1. Ini merupakan kajian rutin bulanan yang bertempat di sekretariat FOSIKBA, Saqor Quraisy, Hay Asyir.

Kajian ini merupakan salah satu momentum yang sangat di tunggu oleh tiap anggota, karena kitab yang menjadi fokus kajian atau bahasan adalah kitab: Nazharat Fi Al-Islam, karya Dr.Muhammad Abdullah Diraaz.

Pertemuan perdana ini sangat menarik sekali karena Divisi Kajian FOSIKBA mendatangkan dua pemateri sekaligus. Pemateri pertama dengan tema: Tuhan dan Sains; Dialektika Paham  Ateisme dan Monoteisme, yang dipresentasikan oleh Kang Abd. Adzim, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Menurut ilustrasi pemakalah dengan mengutip perkataan Dr. Ismail Adham: "Pada awalnya Ateisme hanyalah sebuah ide atau konsep pemikiran, yang lambat-laun terus memperdaya dan menggorogoti saya, kemudian mampu berevolusi dari sebuah ide pemikiran menjadi sebuah ideologi." Perkataan Dr. Ismail ini, menafsirkan bahwa ateisme adalah teologi yang statusnya sama dengan teologi penganut agama. Jika para penganut agama mengimani Tuhan ada, begitu juga dengan ateisme mengimani bahwa Tuhan itu tidak ada.

Tidak jauh beda dengan paparan panelis kedua, dengan tema: Problematika Akidah dan Dinamika Legislasi Modern Hukum Islam, yang dipresentasikan oleh rekan saya Moh. Hidayat El-Shirazy, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Sekapur sirih pemakalah bahwasanya agama adalah akidah dan hukum, keduanya sangat berelasi, mungkin kita bisa rumuskan seperti ini: akidah + hukum = agama. Jadi di sinilah kita paham bahwa agama terdiri dari dua elemen; akidah {iman}, dan hukum {islam}. iman tampa islam bagaikan biji yang tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan islam tampa iman bagaikan pohon yang dicabut sebab tidak menghasilkan buah.

Kajian ini Alhamdulillah berlangsung antusias dan ramai; yang juga di hadiri beberapa Anggota baru kedatangan 2019/2020.

Kajian dimulai jam 14:30 dan berakhir jam 19:00. Terakhir saya ucapan untaian terima kasih kepada pemakalah yang telah menyelesaikan makalahnya, jaza kumullah khairon ahsanal jaza', serta segenap pengurus dan anggota yang ikut serta berpartisipasi meramaikan kajian.

Tabik,

Abd. Latif Al-Misky

Follow Us @soratemplates